Читать онлайн книгу "Takdir Naga"

Takdir Naga
Morgan Rice


Cincin Bertuah #3
TAKDIR NAGA (Buku #3 dalam Cincin Bertuah) membawa kita lebih dalam menuju perjalanan hebat untuk menjadi ksatria, sebagaimana ia melakukan perjalanan melintasi Laut Api menuju ke Pulau Kabut naga. Suatu tempat tanpa ampun, rumah bagi sebagian besar ksatria di seluruh dunia, kekuatan dan kemampuan Thor semakin dalam karena ia berlatih. Pertemanannya karena mereka menghadapi kesengsaraan bersama-sama, melampaui apa yang mereka bisa bayangkan. Tapi saat mereka menemukan diri mereka melawan monster yang tak terbayangkan, The Hundred cepat pergi dari sesi pelatihan untuk soal hidup atau mati. Tidak semua akan bertahan semakin dalam juga, karena mereka menghadapi kesengsaraan bersama-sama, melampaui apa yang mereka bisa bayangkan. Tapi saat mereka menemukan diri mereka melawan monster yang tak terbayangkan, Misi 100 Hari berlalu dengan cepat untuk sesi pelatihan tentang soal hidup atau mati. Tidak semua akan selamat. Sepanjang jalan, mimpi Thor, bersama dengan pertemuan misterius dengan Argon, akan terus menghantuinya, untuk menekan dia supaya mencoba mempelajari lebih lanjut tentang siapa dia, siapa ibunya, dan apa sumber kekuasaan mereka. Apa takdirnya? Kembali di Cincin, menjadi jauh lebih buruk. Sebagaimana Kendrick dipenjarakan, Gwendolyn menemukannya dirinya berusaha untuk menyelamatkannya, untuk menyelamatkan Cincin dengan menjatuhkan kakaknya, Gareth. Ia memburu petunjuk terhadap pembunuh ayahnya bersama dengan kakaknya, Godfrey, dan sepanjang jalan, mereka berdua akan menjadi lebih dekat, bersatu dalam perjuangan mereka. Tapi Gwendolyn menemukan dirinya dalam bahaya saat ia menekan terlalu dalam, dan ia mungkin berada di atas kepalanya. Gareth mencoba untuk mencabut Pedang Dinasti dan belajar apa artinya menjadi Raja, menjadi mabuk oleh penyalahgunaan kekuasaan. Ia memerintah dengan kejam, menjadi paranoid. Karena sosoknya dikencangkan menjadi pembunuh raja, para McCloud menyerang lebih dalam menuju Cincin, dan Istana Raja menemukan dirinya dalam posisi yang semakin genting. Gwendolyn bergantug pada kepulangan Thor, agar mereka bisa bersama, karena cinta mereka semakin mekar. Tapi kekuatan yang hebat menghalangi jalan mereka, patut dipertanyakan apakah kesempatan itu akan pernah datang. Akankah Thor selamat dalam Misi 100 Hari? Akankah Istana Raja runtuh? Akankah pembunuh MacGil diketemukan? Akankah Gwendolyn akhirnya dapat bersama dengan Thor? Dan akankah akhirnya memelajari rahasia takdirnya? Dengan penyusunan dunia dan karakterisasi yang rumit, TAKDIR NAGA adalah kisah epik tentang sahabat dan kekasih, tentang rival dan pelamar, tentang ksatria dan naga, tentang intrik dan persekongkolan politik, tentang beranjak dewasa, tentang patah hati, tentang muslihat, ambisi dan pengkhianatan. Ini adalah dongeng tentang kebesaran dan keberanian, tentang takdir dan nasib, tentang penyihir. Ini adalah sebuah fantasi yang membawa kita menuju sebuah dunia yang tidak akan pernah kita lupakan, dan akan menarik semua usia dan jenis kelamin. Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas… Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang dikemas sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang membosankan. Paranormal Romance Guild (berdasarkan Turned/Penjelmaan) Rintangan yang dikemas dengan aksi, roman, petualangan, dan ketegangan. Miliki buku ini dan jatuh cintalah lagi. vampirebooksite. com (berdasarkan Turned/Penjelmaan)







takdir naga

(buku #3 dalam cincin bertuah)



morgan rice


Tentang Morgan Rice



Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dari THE VAMPIRE JOURNALS (JURNAL VAMPIR), seri remaja yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); seri THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN, sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan seri epik fantasi terlaris #1 CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tiga belas buku (dan terus bertambah).



Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, dan terjemahan dari buku-buku ini tersedia dalam bahasa Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis, Jepang, Tiongkok, Swedia, Belanda, Turki, Hungaria, Ceko dan Slowakia (dengan lebih banyak bahasa yang akan datang).



TURNED [PENJELMAAN] (Buku #1 dalam dalam the Vampire Journals/Jurnal Vampir) dan A QUEST OF HEROES [PETUALANGAN PARA PAHLAWAN] (#1 dalam CINCIN BERTUAH) masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis di Google Play!



Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu mengunjungi www.morganricebooks.com (http://www.morganricebooks.com) untuk bergabung dengan daftar e-mail, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, tetap terhubung!


Pujian Pilihan untuk Morgan Rice



“CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terus terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah fantasi.”

--Books and Movie Reviews, Roberto Mattos



“Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke dalam kisah ini dari pertama, memanfaatkan kualitas deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran setting… Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya.”

-Black Lagoon Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



“Kisah yang ideal bagi pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang bagus dengan memutar balikkan lika-liku yang menarik… Menyegarkan dan unik. Serial ini berfokus di sekitar seorang anak perempuan… anak perempuan yang luar biasa!... Mudah dibaca tapi bertempo cepat… Berperingkat PG.”

--The Romance Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



“Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas….Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang dikemas sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang membosankan.”

--Paranormal Romance Guild (berdasarkan Penjelmaan)



“Ketegangan yang dikemas dengan aksi, roman, petualangan, dan ketegangan. Miliki buku ini dan jatuh cintalah lagi.”

--vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)



“Plot yang bagus, dan khususnya ini adalah jenis buku yang akan memiliki kesulitan untuk ditinggalkan di malam hari. Akhirnya tegang dan sangat spektakuler sehingga Anda akan segera ingin membeli buku selanjutnya, lihat saja apa yang akan terjadi.”

--The Dallas Examiner (berdasarkan Loved/Cinta)



“Sebuah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin tetap terus membacanya sampai halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!”

--Vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)



“Morgan Rice membuktikan dirinya lagi untuk menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta.. Buku ini akan digemari oleh berbagai macam pembaca, termasuk fans yang lebih muda dari genre vampir/fantasi. Buku ini diakhiri dengan ketegangan yang tidak diharapkan yang meninggalkan Anda terkejut.”

--The Romance Reviews (berdasarkan Loved/Cinta)


Buku-buku oleh Morgan Rice



CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

A CRY OF HONOR/PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

A VOW OF GLORY/IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

A CHARGE OF VALOR/PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

A RITE OF SWORDS/RITUAL PEDANG (Buku #7)

A GRANT OF ARMS/HADIAH PERSENJATAAN (Buku #8)

A SKY OF SPELLS/LANGIT MANTRA (Buku #9)

A SEA OF SHIELDS/LAUTAN PERISAI (Buku #10)

A REIGN OF STEEL/TANGAN BESI (Buku #11)

A LAND OF FIRE/DARATAN API (Buku #12)

A RULE OF QUEENS/SANG RATU (Buku #13)



THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN)

ARENA ONE: SLAVERSUNNERS/ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA TWOARENA DUA (Buku #2)



HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

LOVED/CINTA (Buku #2)

BETRAYED/PENGKHIANATAN (Buku #3)

DESTINED/TAKDIR (Buku #4)

DESIRED/DIDAMBAKAN (Buku #5)

BETROTHED/TUNANGAN (Buku #6)

VOWED/SUMPAH (Buku #7)

FOUND/DITEMUKAN (Buku #8)

RESURRECTED/BANGKIT KEMBALI (Buku #9)

CRAVED/HASRAT (Buku #10)

FATED/NASIB (Buku #11)


Unduh buku-buku Morgan Rice di Apple sekarang!














Dengarkan serial CINCIN BERTUAH dalam format buku audio!


Hak Cipta © 2013 olah Morgan Rice

Semua hak dilindungi undang-undang. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan personal Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silahkan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silahkan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Hak cipta gambar sampul oleh Bob Orsillo, digunakan berdasarkan izin dari Shutterstock.com.


DAFTAR ISI



BAB SATU (#ub3fcec60-a1eb-542e-8539-68fd0e93f215)

BAB DUA (#uf87bcb67-af78-586e-9e3d-8ca00da50b4f)

BAB TIGA (#u4bbfa338-0118-5ebb-8b38-cd8639d2fe34)

BAB EMPAT (#uc8e9090c-3b0a-54f9-b07b-7025cf717177)

BAB LIMA (#u7528d34c-27ce-532e-890e-43ac6633082c)

BAB ENAM (#u4807c9c5-9419-5225-9183-3a115a8bf5e6)

BAB TUJUH (#u9d5429d8-0e21-530b-8569-bb1fdbce9d7c)

BAB DELAPAN (#u19a1b041-1371-5d7f-a18f-2cfbbc955972)

BAB SEMBILAN (#u00152883-2e9b-5753-b8a1-46155d3385fe)

BAB SEPULUH (#litres_trial_promo)

BAB SEBELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TIGA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB EMPAT BELAS (#litres_trial_promo)

BAB LIMA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB ENAM BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TUJUH BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DELAPAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SEMBILAN (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH SATU (#litres_trial_promo)


"Jangan berada di antara naga dan kemurkaannya."

—William Shakespeare

King Lear




BAB SATU


Raja McCloud berderap menuruni lereng, memacu kuda melintasi Dataran Tinggi, menuju sisi Cincin para MacGil, ratusan pasukannya di belakangnya, berupaya sekuat tenaga mengikutinya tatkala kudanya menuruni gunung. Ia mengayunkan tangannya ke belakang, mengangkat cambuknya, dan melecutkannya dengan keras pada kulit kuda itu: kudanya tidak perlu didesak seperti itu, tapi ia hanya suka mencambuknya. Ia menikmati memberi rasa sakit pada hewan.

McCloud hampir meneteskan air liur ketika ia melihat pemandangan di depannya: sebuah desa MacGil yang sangat indah, para penduduknya berada di ladang, tidak bersenjata, para wanitanya di rumah, memperbaiki jahitan kain, yang akhir-akhir ini mengenakan pakaian musim panas. Pintu-pintu rumah terbuka; ayam-ayam berkeliaran dengan bebas, ketel-ketel berisi makan malam yang telah masak. Ia memikirkan kerusakan yang akan ia lakukan, harta-harta yang akan ia rampas, wanita-wanita yang akan ia binasakan - dan senyumnya melebar. Ia hampir bisa merasakan darah yang akan ia tumpahkan.

Mereka menyerang dan menyerang, kuda-kuda mereka bergemuruh seperti guntur, tumpah-ruah di seluruh pedesaan, dan akhirnya, seseorang menyadari kehadiran mereka: pengawal desa, alasan yang menyedihkan untuk seorang prajurit, seorang remaja laki-laki, memegang tombak, yang berdiri dan berbalik saat mendengar mereka mendekat. McCloud mendapatkan pemandangan yang indah pada putihnya matanya, melihat ketakutan dan kepanikan dalam raut wajah mereka; di pos terluarnya yang sepi, bocah ini mungkin tidak pernah melihat peperangan sepanjang hidupnya. Dia sangat tidak siap.

McCloud tidak membuang waktu lagi: ia menginginkan pembunuhan yang pertama, seperti yang selalu ia dapatkan dalam peperangan. Para pasukannya tahu dengan baik untuk menyerahkan yang pertama padanya.

Ia mencambuk kudanya lagi sampai kuda itu memekik, dan menambah kecepatan, melesat lebih jauh di depan yang lainnya. Ia mengangkat tombak leluhurnya, sebuah benda berat terbuat dari besi, diangkat ke belakang, dan melemparkannya.

Seperti biasanya, sasarannya tepat: bocah itu hampir selesai berbalik ketika tombak mengenai punggungnya, menyelam tepat melaluinya dan menancapkan dia ke sebuah pohon dengan suara desingan. Darah menyembur dari punggungnya, dan itu cukup untuk memulai hari McCloud.

McCloud mengeluarkan pekikan suka cita pendek ketika mereka terus menyerbu, melewati tanah pilihan MacGil, melalui ladang jagung kuning yang berayun tertiup angin, setinggi paha kudanya, dan menuju gerbang desa. Itu adalah hari yang hampir terlalu indah, gambar yang terlalu indah, atas kehancuran yang akan mereka alami.

Mereka menyerang melalui gerbang desa yang tidak terlindungi, tempat ini cukup bodoh karena terletak di daerah pinggiran Cincin, sangat dekat dengan Dataran Tinggi. Mereka seharusnya tahu lebih baik, McCloud berpikir dengan cibiran, seraya mengayunkan kapak dan menebang tanda kayu penanda tempat itu. Ia akan mengubah nama itu segera.

Anak buahnya memasuki tempat itu, dan di sekelilingnya merebak jeritan perempuan, anak-anak, orang tua, dari siapa pun yang kebetulan berada di rumah di tempat terkutuk ini. Mungkin ada ratusan jiwa yang naas, dan McCloud bertekad untuk membuat masing-masing dari mereka membayarnya. Ia mengangkat kapak tinggi di atas kepala saat ia terfokus pada satu perempuan tertentu, berlari dengan memunggunginya, berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali ke rumahnya yang aman. Itu tidak seharusnya terjadi.

Kapak McCloud memukul dia di bagian belakang betisnya, seperti yang ia inginkan, dan dia jatuh dengan jeritan. Ia tidak ingin membunuhnya: hanya untuk melukai dirinya. Selain itu, ia menginginkan dia hidup untuk kesenangan yang ingin ia dapatkan setelah ini. Ia telah memilihnya dengan baik: seorang wanita dengan rambut pirang liar yang panjang dan pinggul sempit, tidak lebih dari delapan belas tahun. Dia akan menjadi miliknya. Dan ketika ia telah selesai dengan dia, mungkin kemudian ia akan membunuhnya. Atau mungkin tidak; mungkin ia akan menyimpan dia sebagai budaknya.

Ia menjerit dalam kenikmatan ketika ia berkuda di sampingnya dan melompat turun dari kudanya dalam setengah langkah, mendarat di atasnya dan menjegalnya jatuh ke tanah. Ia berguling bersamanya di tanah, merasakan benturan jalan, dan tersenyum sebagaimana ia menikmati seperti apa rasanya hidup.

Akhirnya, hidup memiliki makna lagi.




BAB DUA


Kendrick berdiri di tengah badai, dalam Balai Senjata, diapit oleh lusinan saudara-saudaranya, semua anggota piawai dari Kesatuan Perak, dan memandang dengan tenang pada Darloc, komandan pengawal kerajaan yang dikirim untuk sebuah misi yang tidak menguntungkan. Apa yang telah dipikirkan Darloc? Apakah dia benar-benar berpikiran bahwa dia bisa masuk ke Balai Senjata dan mencoba untuk menangkap Kendrick, keluarga kerajaan yang paling dicintai, di hadapan semua saudara seperjuangannya? Apakah dia benar-benar berpikir yang lainnya akan berdiri saja dan mengizinkannya?

Dia sangat-amat meremehkan loyalitas Kesatuan Perak terhadap Kendrick. Bahkan jika Darloc tiba dengan serangan sah atas penahanannya - dan hal ini pastilah tidak mungkin - Kendrick sangat meragukan saudara-saudaranya akan mengizinkan Kendrick dijebloskan ke dalam penjara. Mereka setia seumur hidup, dan setia sampai mati. Itu adalah keyakinan Kesatuan Perak. Ia akan bereaksi dengan cara yang sama jika ada saudara-saudaranya yang terancam. Selain itu, mereka semua dilatih bersama-sama, berjuang bersama-sama, seumur hidup mereka.

Kendrick bisa merasakan ketegangan yang bergelayut dalam keheningan yang pekat, ketika Kesatuan Perak mengacungkan senjata mereka semata-mata kepada lusinan pengawal kerajaan, yang bergeser di mana mereka berdiri, tampak lebih tidak nyaman dengan saat itu. Mereka pasti telah mengetahui peristiwa itu akan menjadi pembantaian jika salah satu dari mereka mencoba mengambil pedang mereka - dan dengan bijak, tidak satu pun yang melakukannya. Mereka semua berdiri dan menunggu perintah komandan mereka, Darloc.

Darloc menelan ludah, terlihat sangat gelisah. Dia menyadari alasannya sia-sia saja.

"Nampaknya kau tidak datang dengan anak buah yang cukup," jawab Kendrick tersenyum dengan tenang. "Selusin Pengawal Raja melawan seratus Kesatuan Perak. Kau sia-sia."

Darloc merona, terlihat sangat pucat. Dia menelan ludah.

"Tuanku, kita semua melayani kerajaan yang sama. Saya tidak ingin bertarung dengan Anda. Anda benar: ini adalah sebuah pertarungan yang tidak akan bisa kami menangkan. Jika Anda memerintahkan kami, kami akan meninggalkan tempat ini dan kembali kepada Raja.

"Tapi Anda tahu bahwa Gareth hanya akan mengirimkan lebih banyak pasukan untuk Anda. Pasukan yang berbeda. Dan Anda tahu di mana semua ini akan berakhir. Anda mungkin membunuh mereka semua - tetapi Anda sungguh-sungguh menginginkan darah sesama saudara di tangan Anda? Apakah Anda benar-benar ingin menyulut perang saudara? Bagi Anda, anak buah Anda akan mengorbankan hidup mereka, membunuh siapa saja. Tapi apakah itu adil bagi mereka?"

Kendrick balas menatapnya, memikirkan semua itu dengan saksama. Darloc tepat sasaran. Ia tidak menginginkan anak buahnya terluka hanya karena kepentingan pribadinya. Ia merasakan keinginan yang meluap untuk melindungi mereka dari pertumparan darah apapun, tidak peduli apa itu artinya bagi dirinya. Dan seburuk apapun saudaranya Gareth, dan seburuk apapun seorang pemerintah, Kendrick tidak menginginkan perang saudara - paling tidak, bukan untuk kepentingannya. Ada cara lain; konfrontasi langsung, yang telah ia pelajari, yang tidak selalu menjadi yang paling efektif.

Kendrick mengulurkan tangan dan perlahan-lahan menurunkan pedang temannya Atme. Ia berbalik dan menghadapi Kesatuan Perak yang lainnya. Ia dibanjiri dengan rasa terima kasih kepada mereka karena berusaha membelanya.

"Rekanku Kesatuan Perak," ia mengumumkan. "Saya merasa rendah hati oleh pembelaan kalian, dan saya memastikan kepada kalian bahwa ini bukanlah hal yang sia-sia. Sebagaimana kalian semua mengenal saya, saya tidak punya kaitan dengan kematian ayah saya, raja kita terdahulu. Dan ketika saya menemukan pembunuhnya yang sesungguhnya, yang saya curigai sudah saya temukan dari sifat urut-urutan peristiwa ini, saya akan menjadi yang pertama untuk membalaskan dendam. Saya telah difitnah. Ketahuilah, saya tidak ingin menimbulkan terjadinya sebuah perang saudara. Jadi tolong, turunkan senjata kalian. Saya akan mengizinkan mereka untuk membawa saya dengan damai, karena satu anggota Cincin tidak pernah boleh bertempur satu sama lain. Jika keadilan hidup, maka kebenaran akan muncul - dan saya akan kembali kepada kalian dengan segera."

Kelompok Kesatuan Perak itu menurunkan senjata-senjata mereka dengan perlahan dan enggan ketika Kendrick berbalik kembali kepada Darloc. Kendrick melangkah maju dan berjalan bersama Darloc menuju pintu, Pengawal Raja mengelilinginya. Kendrick berjalan tegak dengan bangga, di tengah-tengah mereka. Darloc tidak mencoba untuk membelenggunya - mungkin karena rasa hormat, atau takut, atau karena Darloc tahu ia tidak bersalah. Kendrick akan membimbing dirinya ke penjara barunya. Tapi ia tidak akan menyerah dengan mudah. Entah bagaimana ia akan membersihkan namanya, membuat dirinya bebas dari penjara bawah tanah - dan membunuh pembunuh ayahnya. Bahkan jika itu adalah saudaranya sendiri.




BAB TIGA


Gwendolyn berdiri di dalam perut kastil, kakaknya Godfrey di sampingnya, dan memandangi Steffen saat dia berdiri di sana, bergerak-gerak, memilin tangannya. Dia merupakan seseorang berkarakter aneh - tidak hanya karena ia cacat, punggungnya bengkok dan bungkuk, tapi juga karena dia nampaknya dibanjiri dengan energi kegelisahan. Matanya tidak pernah berhenti bergerak-gerak, dan tangannya menggenggam satu sama lain seolah-olah sedang didera rasa bersalah. Dia membatu di tempatnya berdiri, berpindah dari satu kaki ke kaki lain, dan bergumam kepada dirinya sendiri dengan suara yang dalam. Bertahun-tahun berada di sini, Gwen membayangkan, bertahun-tahun terisolasi jelas sekali menempa dirinya menjadi karakter aneh.

Gwen menunggu dengan antisipasi supaya dia pada akhirnya akan terbuka, mengungkapkan apa yang terjadi pada ayahnya. Tapi ketika detik-detik berubah menjadi menit, saat keringat muncul di alis Steffen, saat ia berdiam diri bahkan lebih dramatis, tidak ada yang terjadi. Tetap ada keheningan yang berat, diselingi dengan suara senandungnya.

Gwen mulai berkeringat juga di tempat ini, derak api dari lubang-lubang terlalu dekat pada hari musim panas ini. Ia ingin menyelesaikan hal ini, meninggalkan tempat ini - dan tidak pernah kembali ke sini lagi. Ia mencermati Steffen, mencoba menguraikan ekspresinya, untuk mencari tahu apa yang melintas dalam pikirannya. Dia telah berjanji untuk mengatakan sesuatu kepada mereka, tetapi sekarang dia membisu. Saat Gwen mencermatinya, dia nampaknya mempunyai gagasan cadangan. Jelas sekali, dia takut; dia menyembunyikan sesuatu.

Akhirnya Steffen berdeham.

"Sesuatu jatuh dari saluran malam itu, saya mengakuinya," dia memulai, tanpa membuat kontak mata, melihat ke suatu tempat di lantai, "tapi saya tidak yakin apa itu. Benda itu sebuah logam. Kami mengeluarkan pispot malam itu, dan saya mendengar sesuatu terjatuh ke dalam sungai. Sesuatu yang berbeda. Jadi," ujarnya, berdeham beberapa kali sembari memilin tangannya, " kau tahu, apapun itu, benda itu hanyut, ke dalam arus.

"Apa kau yakin?" tuntut Godfrey.

Steffen mengangguk penuh semangat.

Gwen dan Godfrey bertukar pandang.

"Apa kau melihatnya, meski hanya sedikit?" tekan Godfrey.

Steffen menggelengkan kepalanya.

"Tapi kau menyebutkan tentang sebilah belati. Bagaimana kau tahu itu adalah sebuah belati jika kau tidak melihatnya?" tanya Gwen. Ia merasa yakin dia berbohong, ia hanya tidak tahu mengapa.

Steffen berdeham.

"Saya berkata demikian karena saya hanya berasumsi bahwa itu adalah sebuah belati," jawabnya. "Benda itu kecil dan terbuat dari logam. Apa lagi kalau bukan belati?"

"Tapi apakah kau memeriksa dasar jambang?" tanya Godfrey. "Setelah kau membuangnya? Mungkin benda itu masih di dalam jambang, di dasarnya."

Steffen menggelengkan kepalanya.

"Saya memeriksa bagian dasar," ujarnya. "Saya selalu melakukannya. Tidak ada apa-apa. Kosong. Apapun itu, benda itu telah hanyut. Aku melihatnya mengambang hanyut."

"Jika benda itu adalah logam, bagaimna bisa mengapung?" tanya Gwen.

Steffen berdeham lagi, lalu mengangkat bahu.

"Sungai itu misterius," jawabnya. "Arusnya kuat sekali."

Gwen bertukar pandangan skeptis dengan Godfrey, dan ia bisa mengatakan dari ekspresinya bahwa Godfrey juga tidak memercayai Steffen.

Gwen mulai semakin tidak sabar. Sekarang, ia juga kebingungan. Hanya beberapa saat sebelumnya, Steffen akan mengatakan kepada mereka semuanya, seperti yang telah dia janjikan. Tapi nampaknya dia seolah-olah tiba-tiba berubah pikiran.

Gwen mengambil langkah lebih dekat dengan dia dan mengerutkan dahi, merasakan bahwa pria ini mempunyai sesuatu yang disembunyikan. Ia menunjukkan wajahnya yang paling berani, dan ketika ia melakukannya kekuatan ayahnya membanjiri dirinya. Ia memutuskan untuk menguak apapun yang dia ketahui - khususnya jika itu dapat membantunya menemukan pembunuh ayahnya.

"Kau bohong," ujarnya, suaranya sedingin baja, kekuatan di dalamnya bahkan membuatnya terkejut. "Apa kau tahu hukuman apa karena berbohong kepada seorang anggota keluarga kerajaan?"

Steffen memilin-milin tangannya dan hampir terikat pada tempatnya, mendongak menatapnya sejenak, lalu cepat-cepat berpaling.

"Maafkan saya," ujarnya. "Maaf. Tolonglah, saya tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan."

"Kau bertanya pada kamu tadi, apakah kau akan terhindar dari penjara jika kau mengatakan kepada kami apa yang kau ketahui," kata Gwen. "Tapi kau tidak mengatakan hal yang berguna kepada kami. Mengapa kau menanyakan hal itu jika kau tidak punya apa-apa untuk dikatakan pada kami?"

Steffen menjilat bibirnya, menatap ke lantai.

"Saya... saya...mm," ia memulai tapi kemudian berhenti. Dia berdeham. "Saya khawatir...saya akan mendapatkan masalah karena tidak melaporkan bahwa sebuah benda jatuh dari saluran. Itu saja. Maaf. Saya tidak tahu apa itu. Benda itu sudah hilang."

Gwen menyipitkan matanya, menatapnya, mencoba mencapai ke dasar karakternya yang aneh.

"Apa yang terjadi dengan majikanmu, tepatnya?" tanyanya, tidak membiarkannya keluar dari pancingan. "Kami diberitahu bahwa dia menghilang. Dan bahwa kau ada kaitannya dengan hal itu."

Steffen menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.

"Dia pergi," jawab Steffen. "Itu saja yang saya ketahui. Maaf. Aku tidak tahu sesuatu yang bisa membantu Anda."

Tiba-tiba muncul sura berdesis keras dari seberang ruangan, dan mereka semua berpaling untuk melihat kotoran turun dari saluran, dan mendarat dengan sebuah percikan dalam pispot raksasa. Steffen berbalik dan berlari ke seberang ruangan, segera menuju jamban itu. Dia berdiri di samping jamban, mengamati jamban itu terisi kotoran dari ruangan di lantai atas.

Gwen berpaling dan menatap Godfrey, yang balas menatapnya juga. Dia menunjukkan ekspresi yang sama bingungnya.

"Apapun yang dia sembunyikan," ujarnya, "tidak akan dia ungkapkan."

"Kita bisa membuatnya dipenjara," ujar Godfrey. "Itu mungkin bisa membuatnya bicara."

Gwen menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak berpikir demikian. Tidak dengan yang satu ini. Dia tentu saja sangat ketakutan. Aku rasa itu ada kaitannya dengan majikannya. Dia jelas-jelas tersiksa tentang sesuatu, dan aku tidak merasa itu ada kaitannya dengan kematian ayah. Aku rasa dia tahu sesuatu yang mungkin membantu kita - tapi aku merasakan bahwa memerhatikannya hanya akan membuat dia tutup mulut."

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanya Godfrey.

Gwen berdiri di sana, berpikir. Ia ingat pada temannya, ketika ia masih kecil, yang saat itu ketahuan berbohong. Ia ingat orang tuanya menekannya dengan cara apapun agar dia mengatakan yang sebenarnya, tapi dia tetap tidak mau. Hanya beberapa minggu kemudian, ketika semua orang akhirnya membiarkan dia, dia melangkah maju dengan sukarela dan membeberkan segalanya. Gwen merasakan energi yang sama datang dari Steffen, bahwa membuatnya terpojok akan membuat dia tutup mulut, bahwa dia membutuhkan ruang untuk datang dengan sendirinya.

"Mari kita beri dia waktu," ujarnya. "Mari kita cari di tempat lain. Mari kita lihat apa yang bisa kita temukan, dan berputar kembali pada dia ketika kita punya hal lain. Aku rasa dia akan berbicara. Dia hanya belum siap."

Gwen berpaling dan memandanginya, di seberang ruangan itu, memeriksa kotoran yang memenuhi belanga. Ia merasa yakin bahwa dia akan mengarahkan mereka menuju pembunuh ayahnya. Ia hanya tidak tahu bagaimana. Ia bertanya-tanya rahasia apa yang tersembunyi dalam lubuk pikirannya.

Dia mempunyai karakter yang sangat aneh, pikir Gwen. Benar-benar sangat aneh.




BAB EMPAT


Thor mencoba untuk bernapas saat ia mengedipkan kembali air yang menyelubungi matanya, hidungnya, mulutnya, tumpah ruah ke sekujur tubuhnya. Setelah tergelincir melintasi perahu, ia akhirnya berhasil mencengkram susuran kayu, dan ia bergelayut pada kayu itu dengan erat saat air tanpa henti menyiram genggamannya. Setiap otot tubuhnya bergetar, dan ia tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan.

Semua saudara-saudaranya di sekelilingnya melakukan hal yang sama, bergelayut erat pada apapun yang mereka bisa temukan saat air mencoba untuk menyeret mereka keluar dari perahu. Entah bagaimana, mereka bisa bertahan.

Suara itu memekakkan telinga, dan sulit untuk melihat lebih dari beberapa kaki di depannya. Meskipun musim panas, hujan itu terasa dingin, dan air itu mengirimkan hawa dingin ke seluruh tubuhnya yang tidak bisa ia goyangkan. Kolk berdiri di sana, merengut, berkacak pingang seolah-olah ia kebal dengan dinding hujan, dan membentak semua yang ada di sekelilingnya.

"KEMBALI KE TEMPAT DUDUKMU!" teriaknya. "DAYUNG!"

Kolk sendiri duduk dan mulai mendayung, dan dalam beberapa saat para remaja laki-laki itu tergelincir dan merangkak melintasi dek, mengarah kembali ke tempat duduk. Jantung Thor berdegup ketika ia melepaskan diri, dan berusaha menyeberangi dek. Krohn, di dalam bajunya, mendengking, saat Thor terpeleset kemudian jatuh, mendarat dengan keras di dek.

Ia merangkak di sisa jalannya, dan segera menemukan dirinya kembali di tempat duduknya.

"IKAT DIRIMU!" teriak Kolk.

Thor menunduk dan melihat tali simpul di bawah bangkunya, dan akhirnya menyadari untuk apa tali itu: ia mengulurkan tangan dan menalikan salah satunya di sekitar pergelangan tangannya, mengikatkan diri ke bangku dan dayung.

Berhasil. Ia berhenti terpeleset. Dan segera, ia dapat mendayung.

Di sekelilingnya para pemuda kembali mendayung, Reece mengambil kursi di depannya, dan Thor bisa merasakan perahu bergerak. Dalam beberapa menit, dinding hujan lebih ringan di depan sana.

Saat ia mendayung dan terus mendayung, kulitnya terbakar akibat hujan aneh ini, setiap otot dalam tubuhnya nyeri, akhirnya suara hujan mulai mereda, dan Thor mulai merasakan lebih sedikit air yang mengguyur kepalanya. Dalam beberapa saat kemudian, mereka memasuki langit yang cerah.

Thor memandang ke sekeliling, terkejut: tempat itu benar-benar kering dan cerah. Itu adalah hal teraneh yang pernah ia alami: setengah perahu berada di bawah matahari yang bersinar dan kering, sementara setengah yang lain terguyur pada saat mereka selesai melewati dinding hujan.

Akhirnya, seluruh perahu berada di bawah langit cerah biru dan kuning, mentari hangat yang terik di atas mereka. Saat itu sunyi, dinding hujan hilang dengan cepat, dan semua saudara seperjuangannya melihat satu sama lain, terpana. Seolah-olah mereka telah melewati sebuah tirai, ke alam lain.

"TERUSKAN!" teriak Kolk.

Semua pemuda di sekeliling Thor mengayuh dayung mereka dengan rintihan dan napas mereka yang terengah-engah. Thor melakukan hal yang sama, merasakan setiap otot dalam tubuhnya gemetar dan bersyukur dapat beristirahat. Ia menelungkup, terengah-engah dan mencoba untuk mengendurkan otot yang sakit saat perahu mereka meluncur menuju perairan yang baru.

Thor akhirnya menguasai dirinya kembali lalu berdiri dan melihat sekeliling. Ia menunduk menatap air, dan melihat bahwa air itu telah berubah warna: air itu sekarang bercahaya, bersinar kemerahan. Mereka telah memasuki lautan yang berbeda.

"Lautan Para Naga," kata Reece, di sampingnya, juga memandang ke bawah dengan heran. "Mereka mengatakan air itu berwarna merah karena darah dari para korbannya."

Thor menunduk menatap air itu. Lautan itu bergelembung di beberapa tempat, dan di kejauhan, monster aneh muncul dari air untuk sesaat, kemudian tenggelam. Tidak ada bertahan cukup lama untuk dapat melihat monster itu dengan baik, tapi ia tidak ingin mencoba peruntungannya dan menunduk lebih dekat.

Thor berpaling dan melihat semuanya, ia bingung. Semua yang ada di sini, di sisi dinding hujan itu, nampak sangat asing, begitu berbeda. Bahkan ada kabut merah tipis di udara, melayang rendah di atas air. Ia mencari-cari di cakrawala dan menemukan lusinan pulau kecil yang tersebar, seperti anak tangga batu di cakrawala.

Angin kencang melanda dan Kolk melangkah maju lalu membentak:

"NAIKKAN LAYAR!"

Thor segera melakukannya bersama semua pemuda di sekelilingnya, meraih tali, dan mengibarkannya agar terbawa embusan angin Layar terbentang dan embusan angin membawa mereka. Thor merasakan perahu bergerak di bawah mereka lebih cepat dari yang pernah ia rasakan, dan mereka mengarah menuju pulau. Perahu terperangkap di gelombang raksasa yang bergulung, yang muncul entah dari mana, bergerak lembut naik dan turun.

Thor berhasil berjalan menuju haluan, bersandar pagar dan melihat ke kejauhan. Reece muncul di sebelahnya, dan O'Connor berada di sisinya yang lain. Mereka semua berdiri berdampingan, dan Thor menyaksikan rantai kepulauan mendekat dengan cepat. Mereka berdiri dalam keheningan dalam waktu yang lama, Thor merasakan angin lembab yang membuat tubuhnya menjadi santai.

Akhirnya, Thor menyadari mereka menuju ke satu pulau. Pulau itu semakin besar, dan Thor merasakan hawa dingin ketika ia menyadari bahwa itu adalah tujuan mereka.

"Pulau Kabut," kata Reece, takjub.

Thor mengamatinya dengan heran. Bentuknya mulai terlihat jelas - pulau itu berbatu, terjal, tandus, dan terbentang beberapa mil di setiap arah, panjang dan sempit, berbentuk seperti tapal kuda. Gelombang raksasa menabrak pantainya, suaranya bergemuruh bahkan dari sini, menciptakan percikan besar busa saat gelombang itu menabrak batu-batu besar. Ada secarik dataran kecil di luar batu besar, dan kemudian dinding tebing yang melambung tinggi lurus ke atas, tinggi ke udara. Thor tidak melihat bagaimana perahu mereka bisa mendarat dengan aman.

Menambah keanehan tempat ini, kabut merah tertinggal di seluruh pulau, seperti embun, berkilau di bawah sinar matahari. Ini memberikan nuansa yang tidak menyenangkan. Thor bisa merasakan sesuatu yang bukan manusia dan tidak wajar tentang tempat ini.

"Mereka mengatakan pulau itu bertahan jutaan tahun," tambah O'Connor. "Pulau itu lebih tua dibandingkan Cincin. Lebih tua, bahkan, dibandingkan Kekaisaran."

"Pulau itu milik para naga," tambah Elden, muncul di samping Reece.

Saat Thor memandang, tiba-tiba matahari kedua turun di langit; di saat-saat hari berubah dari cerah dan cerah hampir terbenam, langit ternoda dengan warna merah dan ungu. Ia tidak bisa mempercayainya: ia belum pernah melihat matahari yang bergerak secepat itu sebelumnya. Ia bertanya-tanya apa lagi yang berbeda di belahan dunia ini.

"Apakah seekor naga hidup di pulau ini?" tanya Thor.

Elden menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku dengar naga itu hidup di sekitarnya. Mereka berkata bahwa kabut merah berasal dari napas naga. Naga itu bernapas pada malam hari di pulau tetangga, dan angin membawa napas itu serta menyelubungi pulau itu di siang hari.

Thor tiba-tiba mendengar suara; awalnya suara itu terdengar seperti gemuruh pelan, seperti petir, panjang lalu cukup keras untuk mengguncang perahu. Krohn, masih berada dalam bajunya, menundukkan kepalanya dan mendengking

Semua orang berbalik dan Thor ikut berbalik juga dan melihat; di suatu tempat di cakrawala ia pikir ia bisa melihat garis samar api menjilati matahari terbenam, kemudian menghilang dalam asap hitam, seperti gunung berapi kecil meletus.

"Sang Naga," kata Reece. "Kita ada dalam wilayah mereka sekarang."

Thor menelan ludah, bertanya-tanya.

"Tapi bagaimana kita bisa selamat dari sini?" tanya O'Connor.

"Kau tidak aman di mana pun," muncul sebuah gema suara.

Thor berbalik untuk melihat Kolk berdiri di sana, berkacak pinggang, mengamati cakrawala melewati bahu mereka.

"Itu adalah titik dari Misi Seratus Hari, untuk hidup dengan risiko kematian setiap harinya. Ini bukanlah sebuah latihan. Naga hidup di dekat kita, dan tidak ada satu pun yang bisa menghentikannya untuk menyerang. Naga itu mungkin tidak akan menyerang, karena dia menjaga sendiri hartanya di pulaunya, dan naga tidak suka meninggalkan hartanya tidak terlindungi. Tapi kau akan mendengar raungannya, dan melihat apinya di malam hari. Dan jika kita membuatnya marah entah bagaimana caranya, tidak ada yang bisa mengira apa yang bisa terjadi."

Thor mendengar gemuruh pelan lain, melihat semburan api lain di cakrawala, dan memandanginya saat mereka semakin mendekati pulau itu, gelombang menabrak pulau itu. Ia mendongak melihat tebing curam, sebuah dinding batu, dan bertanya-tanya bagaimana dinding itu bisa mencapai setinggi itu, menuju ke datarannya yang datar dan kering.

"Tapi aku tidak melihat tempat bagi sebuah perahu untuk berlabuh," kata Thor.

"Berlabuh akan menjadi suatu hal yang sangat mudah," jawab Kolk dengan ketus.

"Lalu bagaimana kita bisa menuju pulau itu?" tanya O'Connor.

Kolk membalas dengan senyum, sebuah senyum sinis.

"Kalian berenang," katanya.

Untuk beberapa saat, Thor bertanya-tanya apakah dia bergurau; tapi kemudian ia menyadari dari tatapan Kolk bahwa dia tidak bergurau. Thor menelan ludah.

"Berenang?" ulang Reece, tidak percaya.

"Air itu dipenuhi dengan monster!" kata Elden.

"Oh, itu hanya sebagian kecil saja," lanjut Kolk. Gelombangnya berbahaya; pusaran airnya akan menyedotmu ke bawah; gelombang itu akan menabrakkan kalian ke bebatuan bergerigi; airnya panas; dan jika kalian berhasil melewati bebatuan, kalian harus menemukan cara untuk memanjat tebing tersebut, untuk mencapai daratan kering. Itu jika monster laut tidak mendapatkan kalian lebih dulu. Selamat datang ke rumah baru kalian."

Thor berdiri di sana bersama yang lainnya, di tepi pagar, menunduk melihat lautan berbuih di bawahnya. Air berputar-putar di bawahnya seperti benda hidup, gelombang itu semakin kuat dalam beberapa detik, mengguncang perahu, membuatnya lebih sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Jauh di bawah, air berkecamuk, berputar, merah terang yang tampaknya berisi darah dari neraka itu sendiri. Yang paling buruk dari semua itu, ketika Thor memandang lebih dekat, air itu terganggu setiap beberapa kaki dengan kemunculan monster laut yang lain, naik, menggertakkan gigi panjangnya, kemudian menyelam.

Perahu mereka tiba-tiba menjatuhkan sauh, jauh dari pantai, dan Thor menelan ludah. Ia mendongak pada bebatuan besar yang membentuk pulau, dan bertanya-tanya bagaimana mereka dapat berhasil sampai di sana dari tempat ini. Tubrukan gelombang semakin besar dalam beberapa detik, membuat yang lain harus berteriak agar suaranya terdengar.

Ia melihat beberapa perahu dayung kecil diturunkan di air, lalu dipandu oleh komandan menjauh dari kapal, sekitar tiga puluh yard. Mereka tidak akan membiarkan hal itu menjadi mudah: mereka harus berenang untuk mencapai mereka.

Gagasan itu membuat perut Thor bergolak.

"LOMPAT!" teriak Kolk.

Untuk pertama kalinya, Thor merasa takut. Ia bertanya-tanya apakah itu akan membuat dia tidak menjadi anggota Legiun, bukan lagi seorang prajurit. Ia tahu prajurit tidak boleh takut sepanjang waktu, tapi ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa sekarang ia merasa takut. Ia membenci kenyataan bahwa ia takut, dan ia berharap sebaliknya. Tapi ia memang takut.

Namun saat Thor memandang ke sekeliling dan melihat wajah-wajah ketakutan dari para pemuda lain, ia merasa lebih baik. Semua pemuda di sekelilingnya berdiri di dekat pagar, membeku dalam ketakutan, menatap ke bawah air. Salah satu pemuda sangat takut sampai dia gemetar. Itu adalah pemuda dari hari latihan perisai, seseorang yang ketakutan, yang telah dipaksa untuk berlari mengelilingi lapangan.

Kolk pasti sudah merasakannya, karena ia melintasi perahu menuju ke arahnya. Kolk nampak tidak terpengaruh saat angin meniup rambutnya, menyeringai sambil berjalan, terlihat siap untuk menaklukkan alam itu sendiri. Dia berdiri di sampingnya dan pandangan marahnya semakin dalam.

"LOMPAT!" teriak Kolk.

"Tidak!" jawab remaja itu. "Saya tidak bisa! Saya tidak mau! Saya tidak bisa berenang! Pulangkan saya!"

Kolk berjalan tepat ke arah pemuda itu, saat ia mulai menjauhi pagar, menyambar bagian belakang bajuya, dan menyeretnya tinggi-tinggi.

"Maka kau harus belajar berenang!" Kolk menggeram, dan kemudian, yang membuat Thor tidak percaya, dia melemparkan pemuda itu melewati pagar.

Pemuda itu melayang melewati udara, berteriak, saat ia jatuh sekitar lima belas kaki ke arah laut yang berbuih. Dia mendarat dengan sebuah percikan, lalu mengapung ke permukaan, menggapai-gapai, terengah-engah.

"TOLONG!" teriaknya.

"Apakah hukum pertama dari Legiun?" Kolk berteriak, berpaling kepada pemuda lain di perahu, mengabaikan pemuda di air itu.

Thor sayup-sayup menyadari jawaban yang benar dari pertanyaan itu, tapi ia terlalu teralihkan oleh pemadangan pemuda itu, tenggelam ke bawah, untuk menjawabnya.

"Untuk membantu rekan anggota Legiun yang membutuhkan!" teriak Elden.

"Dan apakah dia membutuhkan bantuan?" teriak Kolk, menunjuk ke arah pemuda itu.

Pemuda itu mengangkat tangannya, terombang-ambing masuk dan keluar dari air, dan pemuda lainnya berdiri di dek, menatap, terlalu takut untuk menyelam.

Pada saat itu, sesuatu yang aneh terjadi pada Thor. Ketika ia berfokus pada remaja yang tenggelam itu, semua hal lain memudar. Thor tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. Kenyataan bahwa ia mungkin mati bahkan tidak pernah memasuki benaknya. Lautan, para monster, gelombang...itu semua berangsur hilang. Yang bisa ia pikirkan adalah menyelamatkan orang lain.

Thor melangkah menuju ke pagar oak yang lebar, menekuk lututnya, dan tanpa berpikir, melompat tinggi ke udara, mengarahkan wajah lebih dulu menuju air merah yang bergelembung di bawahnya.




BAB LIMA


Gareth duduk di singgasana ayahnya di Aula Utama, membelai pegangan tangan singgasana kayu yang halus dan melihat pemandangan di depannya: ribuan anak buahnya berkemas-kemas di salam ruangan, orang-orang berkerumun di semua sudut Cincin untuk menyaksikan peristiwa sekali dalam hidup ini, untuk melihat apakah ia bisa mencabut Pedang Dinasti. Untuk melihat apakah ia merupakan Yang Terpilih. Terakhir semenjak ayahnya masih muda, orang-orang memiliki kesempatan untuk menyaksikan pencabutan - dan nampaknya tidak seorang pun ingin melewatkannya. Kegembiraan bergantung di udara seperti awan.

Gareth sendiri merasa kebas akibat antisipasi. Tatkala ia menyaksikan ruangan itu terus membengkak, lebih banyak orang lagi memenuhi di dalamnya, ia mulai bertanya-tanya apakah penasihat ayahnya telah berkata benar, apakah memang merupakan gagasan yang buruk untuk mengadakan pencabutan di Aula Utama dan membukanya untuk umum. Mereka telah mendesak Gareth untuk menyelenggarakannya di dalam Ruang Pedang pribadi yang kecil; mereka beralasan bahwa jika ia gagal, hanya beberapa orang yang akan menyaksikannya. Tetapi Gareth tidak memercayai orang-orang ayahnya; ia merasa lebih percaya diri dengan takdirnya ketimbang pengawal tua ayahnya, dan ia menginginkan seluruh kerajaan menyaksikan keberhasilannya, untuk menyaksikan bahwa ia adalah Yang Terpilih, saat peristiwa itu terjadi. Ia menginginkan peristiwa itu dicatat dalam sejarah. Peristiwa saat takdirnya datang.

Gareth memasuki ruangan itu dengan kejelian, melangkah melintasinya ditemani oleh para penasihatnya, dengan mengenakan mahkota dan jubahnya dan memegang tongkatnya - ia ingin mereka semua tahu bahwa ia, bukan ayahnya, adalah Raja yang sesungguhnya, MacGil yang sesungguhnya. Seperti yang telah ia harapkan, tidak perlu waktu yang lama bagi dirinya untuk merasakan bahwa ini adalah kastilnya, kekuasaannya. Ia menginginkan orang-orangnya merasakan hal itu sekarang, pameran kekuasaan ini harus disaksikan secara luas. Setelah hari ini, mereka akan mengetahui dengan pasti bahwa ia adalah satu-satunya raja yang sesungguhnya.

Tetapi sekarang saat Gareth duduk di sana, sendirian di singgasana itu, memandangi tonggak-tonggak besi kosong di tengah ruangan di mana pedang itu akan diletakkan, diterangi oleh seberkas sinar matahari yang mengalir turun melalui langit-langit, ia tidak begitu yakin. Betapa pentingnya hal yang ia akan lakukan itu membebaninya; hal itu akan menjadi langkah yang tidak dapat diubah, dan tidak ada jalan kembali. Bagaimana seandainya ia memang gagal? Ia mencoba untuk menyingkirkannya dari benaknya.

Pintu besar terbuka dengan derik jauh di sisi lain ruangan, dan ruangan itu menjadi sunyi, menunggu hasilnya. Berbaris masuk selusin kaki tangan terkuat kerajaan, dengan membawa pedang itu di antara mereka, semua berupaya menahan beratnya. Enam pria berdiri di tiap sisi, berbaris dengan perlahan, dengan satu per satu langkah, membawa pedang menuju tempat peletakannya.

Jantung Gareth berdegup semakin cepat ketika ia menyaksikan pedang itu semakin dekat. Untuk sesaat, rasa percaya dirinya goyah - apakah dua belas orang ini, yang lebih besar daripada yang pernah dilihatnya, nyaris tidak bisa menahannya, kesempatan apa yang ada di sana untuk dirinya? Tetapi ia mencoba untuk mengeluarkan pikiran itu dari benaknya - bagaimana pun juga, pedang itu merupakan takdir, bukan kekuatan. Dan ia memaksa dirinya untuk mengingat bahwa merupakan takdirnya untuk berada di sini, untuk menjadi anak sulung MacGil, untuk menjadi Raja. Ia mencari-cari Argon di kerumunan; atas sejumlah alasan Gareth memiliki keinginan kuat yang tiba-tiba untuk meminta nasihatnya. Itu adalah waktu di mana ia sangat membutuhkan Argon. Atas alasan tertentu, ia tidak bisa memikirkan orang lain. Tapi tentu saja, dia tidak tampak di mana pun.

Akhirnya, selusin pria itu mencapai bagian tengah ruangan, membawa pedang menuju berkas cahaya matahari, dan mereka meletakkannya pada tonggak-tonggak besi. Pedang itu mendarat dengan suara dentang yang bergema, suara itu merayap bagaikan riak ke seluruh ruangan. Ruangan itu menjadi sangat sunyi.

Kerumunan itu secara naluriah terbagi, membuat jalan bagi Gareth untuk berjalan dan mencoba mencabutnya.

Gareth perlahan bangkit dari singgasananya, menikmati momen itu, menikmati semua sorotan ini. Ia bisa merasakan semua mata memandanginya. Ia tahu bahwa momen seperti ini tidak akan pernah datang lagi, ketika seluruh kerajaan menyaksikan dirinya begitu menyeluruh, begitu bersemangat, menelaah setiap gerakan yang ia lakukan. Ia telah membayangkan momen ini begitu sering dalam benaknya sejak masa mudanya, dan sekarang momen itu telah datang. Ia ingin momen itu berlangsung dengan perlahan.

Ia berjalan menuruni anak tangga singgasana, melangkah satu demi satu anak tangga, menikmati setiap langkah. Ia berjalan di atas karpet merah, merasakan bagaimana lembutnya karpet itu di bawah kakinya, lebih dekat dan semakin dekat menuju berkas cahaya matahari itu, menuju ke arah pedang. Saat ia berjalan, itu terasa seperti berjalan dalam sebuah mimpi. Ia merasa berada di awang-awang. Sebagian dari dirinya merasa seolah-olah ia berjalan di atas karpet ini beberapa kali sebelumnya, mencabut pedang itu jutaan kali dalam mimpinya. Itu membuat ia semakin merasa bahwa ia ditakdirkan untuk mencabut pedang itu, bahwa ia sedang berjalan menuju takdirnya.

Ia melihat bagaimana peristiwa itu berlangsung dalam benaknya: ia akan melangkah maju dengan gagah berani, mengulurkan satu tangan, dan ketika para bawahannya membungkuk, ia akan dengan tiba-tiba dan secara dramatis mengangkatnya tinggi di atas kepalanya. Mereka semua akan terkesiap dan bersujud serta menyatakan dirinya sebagai Yang Terpilih, raja MacGil paling penting yang pernah berkuasa, satu-satunya yang ditakdirkan untuk berkuasa selamanya. Mereka akan mencucurkan air mata sukacita saat melihatnya. Mereka akan gemetar ketakutan terhadap dirinya. Mereka akan berterima kasih pada Tuhan karena mereka telah hidup dalam kehidupan ini untuk menyaksikannya. Mereka akan memuja dirinya seperti seorang dewa.

Gareth mendekati pedang itu, hanya beberapa kaki jauhnya sekarang, dan merasakan dirinya menggigil. Ketika ia memasuki cahaya matahari itu, meskipun ia seringkali melihat pedang itu sebelumnya, ia tercengang oleh keindahannya. Ia tidak pernah diizinkan sedekat ini sebelumnya, dan itu membuatnya terkejut. Pedang itu sangat hebat. Dengan mata pisau panjang yang berkilau, dibuat dari suatu bahan yang belum pernah ditemukan siapa pun, pedang itu memiliki ornamen gagang terindah yang pernah ia lihat, diselubungi dengan kain indah laksana sutra, bertatahkan permata di setiap bagian, dan dihiasi dengan lambang elang. Ketika mengambil sebuah langkah lebih dekat, ia merasakan energi dahsyat terpancar keluar, melayang-layang di udara dari pedang itu. Pedang itu nampak berdenyut. Ia sangat sulit untuk bernapas. Dalam beberapa saat pedang itu akan berada dalam telapak tangannya. Tinggi di atas kepalanya. Bercahaya dalam sinar matahari untuk dilihat oleh seluruh dunia.

Dirinya, Gareth, Yang Terhebat.

Gareth mengulurkan tangan dan meletakkan tangan kanannya pada gagang pedang, perlahan-lahan melingkarkan jari-jarinya di sekelilingnya, merasakan setiap permata, setiap kontur pedang itu saat ia menggenggamnya, ia tersentak. Suatu energi yang kuat memancar melalui telapak tangannya, menuju lengannya, ke seluruh tubuhnya. Itu tidak seperti apa pun yang pernah ia rasakan. Momen ini adalah miliknya. Momen miliknya untuk selamanya.

Gareth tidak akan melewatkan kesempatan: ia mengulurkan tangan lainnya dan juga menggenggam gagang pedang itu. Ia menutup matanya, napasnya tidak keruan.

Jika diperkenankan oleh para dewa, izinkan aku untuk mencabut pedang ini. Beri aku pertanda. Tunjukkan padaku bahwa aku adalah Raja. Tunjukkan padaku bahwa aku ditakdirkan untuk berkuasa.

Gareth berdoa dalam kesunyian, menunggu sebuah tanggapan, sebuah pertanda, pada waktu yang tepat. Tetapi detik-detik berlalu, hingga sepuluh detik, seluruh kerajaan menyaksikan, dan ia tidak mendengar apa-apa.

Lalu, tiba-tiba, ia melihat wajah ayahnya, memandang muram kepadanya.

Gareth membuka matanya dengan kengerian, ingin menyingkirkan bayangan itu dari pikirannya. Jantungnya berdegup, dan ia merasa itu adalah sebuah pertanda buruk.

Sekarang atau tidak pernah.

Gareth mencondongkan tubuhnya, dan dengan seluruh kekuatannya, ia mencoba untuk mencabut pedang itu. Ia berusaha dengan seluruh kekuatannya, sampai seluruh tubuhnya terguncang dan mengejang.

Pedang itu tidak bergeming. Itu terasa seperti mencoba untuk memindahkan seluruh dasar bumi.

Gareth mencoba lebih kuat lagi, lebih keras, dan lebih kuat. Akhirnya, ia tampak mengerang dan menjerit.

Beberapa saat kemudian, ia terjatuh.

Pedang itu tidak bergerak seinci pun.

Desah terkejut menyebar ke seluruh ruangan saat ia jatuh ke tanah. Beberapa penasihatnya bergegas untuk membantunya, memeriksa untuk melihat apakah ia baik-baik saja, dan ia dengan kasar mendorong mereka menjauh. Dengan malu, ia berdiri, berusaha berdiri dengan sendirinya.

Merasa dipermalukan, Gareth memandang ke sekeliling pada bawahannya, ingin mengetahui bagaimana mereka akan memandang ia sekarang.

Mereka telah berbalik pergi, telah keluar dari ruangan itu. Gareth bisa melihat kekecewaan dalam wajah mereka, ia bisa melihat bahwa ia hanyalah tontonan gagal lain di mata mereka. Sekarang mereka semua tahu, masing-masing dan semuanya, bahwa ia bukanlah raja sejati mereka. Ia bukan MacGil yang ditakdirkan dan yang terpilih. Ia bukan apa-apa. Hanyalah pangeran lain yang telah merebut tahta.

Gareth merasakan dirinya sendiri terbakar malu. Ia tidak pernah merasa begitu kesepian pada saat itu. Semua yang telah ia angankan, sejak ia masih kanak-kanak, merupakan suatu kebohongan. Hanya khayalan. Ia telah memercayai dongengnya sendiri.

Dan hal itu menghancurkannya.




BAB ENAM


Gareth berlari menuju kamarnya, pikirannya terguncang, terkejut oleh kegagalannya mencabut pedang itu, mencoba untuk memikirkan konsekuensinya. Ia merasa kebas. Ia sulit percaya bahwa ia telah begitu bodoh karena berusaha mencabut pedang itu, Pedang Dinasti, yang tidak seorang MacGil pun dapat mencabut pedang itu selama tujuh generasi. Mengapa ia berpikir bahwa ia akan lebih baik ketimbang para nenek moyangnya? Mengapa ia berasumsi bahwa ia berbeda?

Seharusnya ia telah menyadarinya. Ia seharusnya berhati-hati, tidak pernah boleh meremehkan dirinya. Ia seharusnya merasa cukup hanya dengan memiliki singgasana ayahnya. Mengapa ia harus memaksakannya?

Sekarang semua bawahannya tahu bahwa ia bukan Yang Terpiilh; sekarang kekuasaannya akan rusak oleh hal ini, mereka akan menugaskan lebih banyak pengawal untuk mencurigainya atas kematian ayahnya. Ia melihat bahwa semua orang telah memandangnya secara berbeda, seolah-olah ia adalah hantu yang berjalan, seolah-olah mereka telah mempersiapkan diri mereka sendiri untuk raja selanjutnya yang akan datang.

Yang lebih buruk dari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gareth merasa tidak yakin terhadap dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, ia telah melihat takdirnya dengan jelas. Ia telah merasa yakin bahwa ia ditakdirkan untuk menggantikan kedudukan ayahnya, untuk berkuasa dan untuk mencabut pedang itu. Keyakinannya telah terguncang sampai ke intinya. Sekarang, ia tidak yakin tentang apa pun.

Yang terburuk, ia tidak bisa berhenti melihat bayangan wajah ayahnya, tepat sebelum ia mencabut pedang itu. Apakah itu adalah balas dendamnya?

"Bravo," muncul sebuah suara yang perlahan dan sinis.

Gareth berbalik, terkejut karena tidak seorang pun yang ada bersamanya dalam kamar ini. Ia segera mengenali suara itu; itu adalah suara yang telah menjadi sangat familiar selama bertahun-tahun, dan Itu adalah suara istrinya.

Helena.

Di sana dia berdiri, jauh di pojok ruangan itu, mengamatinya sembari mengisap pipa opiumnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya, lalu secara perlahan mengeluarkannya. Mata Helena merah, dan ia bisamelihat apakah dia telah merokok terlalu lama.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Gareth.

"Bagaimanapun juga ini adalah kamar pengantinku," jawabnya. "Aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan di sini. Aku istrimu dan ratumu. Jangan lupakan itu. Aku berkuasa atas kerajaan ini sebanyak dirimu. Dan setelah kau gagal hari ini, aku tidak akan menggunakan istilah memerintah semudah itu."

Wajah Gareth berubah menjadi merah. Helena selalu punya cara menyerangnya dengan pukulan paling telak, dan pada saat yang tidak menguntungkan. Ia membenci dia lebih dari wanita manapun dalam hidupnya. Ia hampir tidak bisa membayangkan bahwa ia telah setuju untuk menikahinya.

"Begitu menurutmu?" Gareth meludah, berbalik dan berjalan ke arahnya, dengan sangat marah. "Kau lupa bahwa aku adalah Raja, wanita jalang, dan aku bisa membuatmu dipenjara, sama seperti orang lain di kerajaanku, meskipun kau adalah istriku atau bukan."

Dia menertawakannya, mendengus mengejek.

"Lalu apa?" tukasnya. "Sudah memiliki pelayan pemuas seksmu yang baru? Tidak, aku sangat meragukannya. Tidak di dunia licik Gareth. Tidak dalam benak pria yang paling peduli bagaimana anggapan orang ketimbang orang lain."

Gareth berhenti di depannya, menyadari dia memiliki cara melihat seluruh dirinya yang sangat menjengkelkannya. Ia memahami ancamannya dan menyadari bahwa berdebat dengannya bukan hal yang bagus. Jadi ia hanya berdiri di sana, diam, menunggu, dengan tangan terkepal.

"Apakah ini yang kau inginkan?" katanya perlahan, mencoba untuk mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan sesuatu yang gegabah. "Kau tidak datang padaku kecuali kau menginginkan sesuatu."

Ia mengeluarkan sebuah tawa mengejek yang kering.

"Aku akan menerimanya apapun itu jika aku menginginkannya. Aku tidak meminta apa-apa darimu. Tetapi lebih untuk memberitahumu sesuatu: seluruh kerajaanmu baru saja menyaksikan kegagalanmu mencabut pedang. Ke mana hal itu pergi meninggalkan kita?"

"Apa yang kau maksudkan dengan kita?" tanya Gareth, bertanya-tanya ke mana arah pembicaraannya.

"Orang-orangmu sekarang tahu apa yang selalu aku ketahui: bahwa kau gagal. Bahwa kau bukanlah Yang Terpilih. Selamat. Paling tidak itu sudah resmi sekarang."

Ia memandangnya dengan marah.

"Ayahku gagal mencabut pedang itu. Hal itu tidak mencegah beliau berkuasa dengan baik sebagai Raja."

"Tetapi hal itu memengaruhi martabat rajanya," tukas Helena. "Setiap saat."

"Jika kau sangat tidak bahagia dengan ketidakmampuanku," gerutu Gareth, "mengapa kau tidak meninggalkan tempat ini? Tinggalkan aku! Tinggalkan olok-olok pernikahan kita. Aku adalah Raja sekarang. Aku tidak lagi membutuhkanmu."

"Aku gembira kau mengatakan hal itu," ujarnya, "karena itu adalah alasan yang tepat atas kedatanganku. Aku ingin kau mengakhiri pernikahan kita secara resmi. Aku menginginkan perceraian. Ada seorang pria yang aku cintai. Seorang pria sejati. Salah satu ksatriamu, sebenarnya. Dia adalah seorang prajurit. Kami sedang jatuh cinta, cinta sejati. Tidak seperti cinta yang pernah aku rasakan. Ceraikan aku, sehingga aku bisa berhenti merahasiakan perselingkuhan ini. Aku ingin cinta kami diketahui orang. Dan aku ingin menikahi dia."

Gareth menatapnya dengan terkejut, merasa ngeri, seolah-olah sebilah belati telah ditancapkan ke dalam dadanya. Mengapa Helena harus muncul? Mengapa sekarang? Itu semua terlalu berat baginya. Ia merasa seolah-olah dunia menendangnya saat ia sedang gundah.

Meskipun demikian, Gareth terkejut menyadari bahwa ia memiliki perasaan yang mendalam kepada Helena, karena ketika ia mendengar kata-katanya yang sebenarnya, meminta cerai, kata-kata itu berdampak sesuatu padanya. Hal itu membuatnya kesal. Meskipun demikian, hal itu membuatnya sadar bahwa ia tidak menginginkan bercerai darinya. Jika datang darinya, hal itu memungkinkan; tapi jika itu datang dari dia, itu adalah perkara lain. Ia tidak ingin dia pergi begitu saja, tidak semudah itu.

Yang paling penting, ia bertanya-tanya bagaimana perceraian akan memengaruhi kerajaannya. Raja yang bercerai akan menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Selain itu, ia menyadari dirinya cemburu dengan ksatria ini. Dan tersinggung dia membelai kekurangan kedewasaan di wajahnya. Ia ingin membalas dendam. Kepada mereka berdua.

"Kau tidak bisa memilikinya," tukasnya. "Kau terikat denganku. Terjebak sebagai istriku selamanya. Aku tidak akan pernah membebaskanmu. Dan jika aku menemukan ksatria yang kau selingkuhi itu, aku akan menyiksa dan mengeksekusinya."

Helena balas membentaknya.

“Aku bukan istrimu! Kau bukan suamiku. Kau bukanlah seorang pria. Pernikahan kita adalah persatuan yang tidak suci. Sudah sejak hari pernikahan palsu itu. Itu adalah suatu hubungan yang direncanakan untuk kekuasaan. Semua hal itu membuatku muak - selalu begitu. Dan itu telah menghancurkan satu-satunya kesempatanku untuk benar-benar menikah."

Ia menarik napas, kemarahannya meningkat.

"Kau akan menceraikan aku, atau aku akan membongkar ke seluruh kerajaan pria seperti apa dirimu itu. Putuskan hal itu."

Dengan itu Helena memunggunginya, berjalan menyeberangi ruangan dan keluar melalui pintu yang terbuka, bahkan tidak peduli untuk menutup pintu itu di belakangnya.

Gareth berdiri sendirian dalam ruangan berdinding batu itu, mendengarkan gema langkah kakinya dan merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya yang tidak bisa ia singkirkan. Apakah ada sesuatu yang kukuh yang bisa ia jadikan pegangan lagi?

Ketika Gareth berdiri di sana dengan gemetar, melihat pintu yang terbuka, ia terkejut melihat seseorang masuk melalui pintu itu. Ia hampir tidak punya waktu untuk mencerna percakapannya dengan Helena, untuk mengingat semua ancamannya, ketika masuklah sebuah wajah yang sangat familiar. Firth. Lompatan pada langkah Firth yang seperti biasanya hilang saat ia memasuki ruangan sementara itu, suatu tatapan bersalah tampak di wajahnya.

"Gareth?" tanya Firth yang terdengar tidak yakin.

Firth memandanginya, dengan mata lebar, dan Gareth bisa melihat seberapa bersalah yang dia rasakan. Dia seharusnya merasa bersalah, pikir Gareth. Selain itu, Firthlah yang membuatnya mencabut pedang itu, yang akhirnya meyakinkan dirinya, yang membuatnya berpikir bahwa ia lebih dari sebelumnya. Tanpa bisikan Firth, siapa yang tahu? Mungkin Gareth tidak akan pernah berusaha untuk mencabut pedang itu.

Gareth berpaling ke arahnya, mendidih marah. Firth akhirnya menemukan sasaran yang memicu semua kemarahannya. Selain itu, Firth telah menjadi seseorang yang membunuh ayahnya. Itu adalah Firth, bocah kandang kuda yang bodoh ini, yang menempatkan ia ke dalam permulaan seluruh kekacauan ini. Sekarang ia hanyalah penerus garis keturunan MacGil lainnya yang gagal.

"Aku benci kau," kata Gareth dengan marah. "Apa janjimu sekarang? Keyakinan apa yang kau miliki bahwa aku akan mencabut pedang itu?"

Firth menelan ludah, terihat sangat gugup. Dia tidak dapat berkata apa-apa. Tak pelak lagi, dia tidak punya apa-apa untuk dikatakan.

"Maafkan saya, Tuanku," katanya. "Saya bersalah."

"Kau bersalah tentang banyak hal," tukas Gareth.

Tentu saja, semakin Gareth memikirkan tentang hal itu, semakin ia menyadari betapa salahnya Firth selama ini. Sesungguhnya, jika bukan karena Firth, ayahnya masih akan hidup hari ini - dan Gareth tidak akan berada dalam kekacauan ini. Berat kerajaan tidak akan berada di atas kepalanya, semua hal ini tidak akan terjadi kesalahan. Gareth merindukan hari-hari biasanya, ketika ia bukanlah Raja, ketika ayahnya masih hidup. Ia merasa sangat ingin mengembalikan semuanya, sebagaimana seharusnya. Tetapi ia tidak bisa. Dan ia menimpakan kesalahan pada Firth atas semua ini.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tekan Gareth.

Firth berdeham, sangat gugup.

"Saya mendengar...rumor...kasak-kusuk para pelayan. Saya dengar kabar bahwa adik laki-laki dan adik perempuanmu bertanya di sana-sini. Mereka terlihat di kamar para pelayan. Memeriksa saluran pembuangan untuk mencari senjata pembunuhan. Belati yang aku gunakan untuk membunuh ayahmu."

Tubuh Gareth menjadi dingin oleh kata-katanya. Ia membeku dalam keterkejutan dan ketakutan. Mungkinkah hari ini menjadi lebih buruk lagi?

Ia berdeham.

"Dan apa yang mereka cari?" tanyanya, tenggorokannya kering, kata-katanya nyaris kabur.

Firth menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak tahu, tuanku. Yang saya tahu mereka mencurigai sesuatu."

Gareth merasakan kebencian baru kepada Firth, seseorang yang ia tidak tahu jika dia mampu melakukannya. Jika itu bukan karena caranya yang kikuk, jika dia telah membuang senjata itu dengan benar, ia tidak akan berada dalam posisi ini. Firth telah membuatnya rentan.

"Aku hanya akan mengatakan hal ini satu kali," ujar Gareth, melangkah mendekati Firth, mendekatkan wajahnya dengan tatapan paling tegas yang bisa ia kerahkan. "Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Apa kau mengerti? Pergi dari hadapanku, dan jangan pernah kembali. Aku akan menugaskan kau sebuah posisi jauh dari sini. Dan jika kau berani melangkahkan kaki ke dalam dinding kastil ini lagi, yakinlah kalau aku akan menahanmu.

"SEKARANG PERGI!" teriak Gareth.

Firth dengan mata yang dibanjiri air mata, berbalik dan berlari keluar dari ruangan itu, langkah-langkah kakinya bergema panjang ketika ia berlari di koridor.

Gareth mengingat kembali memikirkan pedang itu, upayanya yang gagal. Ia tidak bisa tidak merasa seolah-olah ia telah mengatur bencana besar bagi dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah baru saja mendorong dirinya sendiri jatuh dari sebuah tebing, dan sejak saat ini, ia hanya akan menghadapi kejatuhannya.

Ia berdiri di sana, terpancang pada batu dalam keheningan yang bergema, di dalam ruangan ayahnya, gemetaran, bertanya-tanya apa gerangan yang telah ia picu. Ia tidak pernah merasa sangat kesepian, sangat tidak yakin terhadap dirinya sendiri.

Apa seperti ini rasanya menjadi raja?

*

Gareth tergopoh-gopoh menaiki anak tangga batu spiral, berlari menaiki lantai demi lantai, bergegas menuju tembok pembatas kastil yang paling atas. Ia membutuhkan udara segar. Ia membutuhkan waktu dan ruang untuk berpikir. Ia membutuhkan sudut pandang kerajaannya, kesempatan untuk melihat istananya, rakyatnya, dan untuk mengingat itu semua adalah miliknya. Bahwasanya, meski semua peristiwa mengerikan yang terjadi, ia adalah, bagaimanapun juga, masih seorang raja.

Gareth telah mengusir para pelayannya dan berlari sendirian, menaiki lantai demi lantai, dengan napas terengah-engah. Ia berhenti di salah satu lantai, membungkukkan badan dan menenangkan napasnya. Air mata mengalir di pipinya. Ia terus melihat wajah ayahnya, memandangnya dengan marah.

"Aku membencimu!" teriaknya pada udara kosong.

Ia bersumpah kalau ia mendengar tawa mengejek sebagai jawabannya. Tawa ayahnya.

Gareth ingin menjauh dari sini. Ia berbelok dan terus berlari, berlari dengan cepat, sampai akhirnya ia mencapai lantai teratas. Ia menyerbu keluar melalui pintu, dan udara musim panas yang segar menerpa wajahnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur napasnya, menikmati cahaya matahari dengan angin sepoi-sepoi yang hangat. Ia melepas jubahnya, jubah ayahnya, dan melemparkannya ke tanah. Jubah itu terlalu panas - dan ia tidak lagi ingin mengenakannya.

Ia segera menuju tepian tembok pembatas dan mencengkram dinding batu, terengah engah, menatap ke bawah istananya. Ia bisa melihat kerumunan yang seperti tidak ada habisnya, keluar dari kastil. Mereka meninggalkan upacara itu. Upacaranya. Ia hampir bisa merasakan kekecewaan mereka dari sini. Mereka terlihat begitu kecil. Ia takjub karena mereka semua ada di bawah kendalinya.

Tetapi untuk berapa lama?

"Kerajaan adalah hal yang menyenangkan," muncul sebuah suara.

Gareth memutar tubuhnya dan melihat, yang membuatnya terkejut, Argon berdiri di sana, beberapa kaki jauhnya, mengenakan jubah putih dan tudung serta memegang tongkatnya. Ia menatap Argon, sebuah senyum di ujung bibirnya - namun matanya tidak tersenyum. Kedua matanya bercahaya, menatap tepat ke arahnya, dan mata itu membuat Gareth berada di tepian. Mata itu melihat terlalu banyak.

Ada begitu banyak hal yang ingin Gareth katakan kepada Argon, ia ingin bertanya kepadanya. Tetapi karena saat ini ia telah gagal mencabut pedang itu, ia tidak bisa mengajukan satu pun pertanyaan.

"Mengapa kau tidak memberitahu aku?" rengek Gareth, ada keputusasaan dalam suaranya. "Kau seharusnya bisa memberitahu bahwa aku tidak ditakdirkan untuk mencabutnya." Kau seharusnya bisa menyelamatkan aku dari rasa malu."

"Dan mengapa aku harus melakukan hal itu?" tanya Argon.

Gareth mengerutkan kening.

"Kau bukanlah yang sesungguhnya dinasihatkan untuk menjadi Raja," ujarnya. "Kau pasti telah menasihati ayahku dengan benar. Tetapi tidak denganku."

"Mungkin ia layak mendapatkan nasihat yang benar," jawab Argon.

Kemarahan Gareth semakin dalam. Ia membenci pria itu. Dan ia menyalahkan Argon.

"Aku tidak ingin kau ada di dekatku," ujar Gareth. "Aku tidak tahu mengapa ayahku menyuruhmu, tapi aku tidak ingin kau ada di Istana Raja."

Argon tertawa dengan suara yang menakutkan dan mengerikan.

"Ayahmu tidak menyuruhku, anak bodoh," katanya. "Tidak juga ayahnya yang sebelumnya. Aku ditakdirkan untuk berada di sini. Sesungguhnya, bisa dikatakan bahwa akulah yang menyuruh mereka."

Argon tiba-tiba melangkah maju, dan memandang seolah-olah dia menatap menembus ke jiwa Gareth.

"Apa kau bisa mengatakan hal yang sama?" tanya Argon. "Apa kau ditakdirkan untuk berada di sini?"

Kata-katanya menyerang saraf Gareth, mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuhnya. Itu adalah hal utama yang Gareth tanyakan pada dirinya sendiri. Gareth bertanya-tanya apakah itu merupakan sebuah ancaman.

"Barangsiapa yang berkuasa melalui darah akan memerintah dengan darah," cetus Argon, dan bersama dengan kata-kata itu, ia dengan cepat berbalik lalu mulai berjalan pergi.

"Tunggu!" Gareth berteriak, tidak lagi menginginkan dia pergi, ia membutuhkan jawaban. "Apa yang kau maksudkan dengan hal itu?"

Gareth tidak bisa tidak merasa Argon telah memberinya sebuah pesan, bahwa ia tidak akan berkuasa dalam waktu yang lama. Ia harus tahu apakah itu adalah yang ia maksudkan.

Gareth berlari mengejarnya, tetapi saat ia sampai di dekatnya, tepat di depan matanya, Argon menghilang.

Gareth berpaling, mencari-cari ke sekelilingnya, tetapi ia tidak melihat apa-apa. Ia hanya mendengar gema tawa, di suatu tempat di udara.

“Argon!” teriak Gareth.

Dia berpaling lagi, kemudian mendongak ke arah surga, menjatuhkan diri di atas satu lutut dan menengadahkan kepalanya. Ia menjerit:

“ARGON!”




BAB TUJUH


Erec berjalan bersama sang Adipati, Brandt dan puluhan rombongan Adipati, melalui jalan-jalan berliku Savaria, kerumunan muncul ketika mereka berangkat, menuju rumah si gadis pelayan. Erec bersikeras untuk menemui gadis itu tanpa menunda lagi, dan Adipati sendiri yang ingin memimpin jalan. Dan ke mana sang Adipati pergi, semua orang mengikuti. Erec memandang ke sekeliling pada rombongan besar yang semakin bertambah, dan ia merasa malu, menyadari ia akan tiba di tempat tinggal gadis itu dengan puluhan orang di belakangnya.

Erec tak sanggup memikirkan tentang apapun sejak saat pertama kali ia melihat gadis itu. Siapakah gadis ini, tanyanya dalam hati, yang nampak begitu mulia, namun bekerja sebagai seorang pelayan di istana sang Adipati? Mengapa dia melarikan diri darinya begitu tergesa-gesa? Mengapa demikian, sepanjang hidupnya, dengan semua wanita bangsawan yang telah ia temui, gadis ini adalah satu-satunya yang sanggup mencuri hatinya?

Dengan berada di lingkungan kerajaan sepanjang hidupnya, putra seorang raja itu sendiri, Erec bisa mengetahui bangsawan lain dalam sekejap - dan ia merasakan dari saat ia melihatnya, bahwa dia memiliki kedudukan yang jauh lebih lebih anggun ketimbang yang sedang dia duduki. Ia terbakar oleh rasa penasaran untuk mengetahui siapakah dia, dari mana dia berasal, apa yang dia lakukan di sini. Ia membutuhkan kesempatan lain untuk menetapkan matanya terhadap dia, untuk melihat apakah ia telah membayangkannya atau apakah ia masih merasa seperti sebelumnya.

"Para pelayanku mengatakan dia tinggal di pinggir kota," Adipati menjelaskan, berbicara sembari mereka berjalan. Ketika mereka berjalan, orang-orang di semua sisi jalan membuka daun jendela mereka dan melihat ke bawah, terpana oleh kehadiran Adipati dan rombongannya di jalan umum.

"Rupanya, dia adalah pelayan seorang pemilik penginapan. Tidak seorang pun tahu asalnya, dari mana dia datang. Yang mereka ketahui adalah dia tiba di kota kami suatu hari, dan menjadi pelayan yang terikat kontrak dengan pemilik penginapan ini. Masa lalunya, sepertinya, adalah sebuah misteri."

Mereka semua menuruni sisi jalan lain, bebatuan di bawah mereka menjadi lebih bengkok, tempat tinggal kecil berdekatan satu sama lainnya dan lebih bobrok saat mereka masuk. Adipati berdeham.

"Aku mengambilnya sebagai seorang pelayan di istanaku pada acara-acara khusus. Dia pendiam, terus menyendiri. Tidak seorang pun yang tahu banyak tentang dia. Erec," ujar Adipati, akhirnya berpaling kepada Erec, meletakkan sebelah tangan di pergelangan tangan Erec, "apakah kau yakin dengan hal ini? Wanita ini, siapa pun dia, hanyalah rakyat jelata. Kau bisa mendapatkan pilihanmu terhadap wanita manapun di kerajaan."

Erec menatap kepadanya dengan intensitas yang sama.

"Aku harus menemui gadis ini lagi. Aku tidak peduli siapa dia."

Adipati menggelengkan kepalanya atas ketidaksetujuannya, dan mereka semua terus berjalan, berbelok di jalan demi jalan, melewati lorong-lorong sempit yang berliku. Ketika mereka berjalan, lingkungan daerah sekitar Savaria menjadi lebih kumuh, jalanan dipenuhi dengan para pemabuk, bersama dengan sampah, ayam dan anjing liar yang berkeliaran. Mereka melewati kedai demi kedai, jeritan pelanggan menyeruak sampai ke jalan. Beberapa pemabuk terhuyung di depan mereka, dan saat malam mulai datang, jalan mulai diterangi oleh obor-obor.

"Beri jalan bagi sang Adipati!" teriak pemimpin pelayannya, maju dengan cepat dan akhirnya mendorong para pemabuk ke sisi jalan. Di tepi jalan semua orang kumal itu menepi dan melihat, takjub ketika Sang Adipati melintas bersama Erec di sampingnya.

Akhirnya, mereka tiba di penginapan kecil yang sederhana, dibangun dengan batu plesteran, dengan atap batu tulis yang miring. Tampaknya penginapan itu mampu menampung sekitar lima puluh orang di kedai yang berada di bagian bawah, dengan beberapa kamar untuk menginap di bagian atas. Pintu depannya sudah tak lurus lagi, satu jendelanya sudah rusak, dan lilin di bagian depan tampak tergantung dengan malas, nyalanya berkedip-kedip dan lilinnya terlalu kecil. Teriakan para pemabuk menyeruak keluar jendela, ketika mereka semua berhenti di depan sebuah pintu.

Bagaimana bisa seorang gadis cantik seperti dia bekerja di sebuah tempat seperti ini? Erec bertanya-tanya, merasa ngeri, ketika ia mendengar teriakan dan cemoohan dari dalam. Hatinya hancur ketika ia memikirkan hal itu, ketika bayangan penghinaan yang harus dia terima di tempat seperti ini. Tidak adil, pikirnya. Ia merasa bertekad untuk menyelamatkan dia dari hal itu.

"Mengapa kau datang ke tempat yang paling buruk untuk memilih seorang pengantin?' tanya Adipati sambil berpaling kepada Erec.

Brandt menoleh kepadanya juga.

"Kesempatan terakhir, temanku," ujar Brandt. "Ada sebuah kastil penuh dengan wanita bangsawan yang menunggu kau kembali ke sana."

Tetapi Erec menggelengkan kepalanya, ia sudah menetapkan hati.

"Buka pintu," perintahnya.

Salah satu anak buah Adipati segera maju dan menghentakkan pintu itu hingga terbuka. Bau bir yang tercium di udara membuatnya ingin muntah.

Di dalamnya, para pria pemabuk mengelilingi bar, duduk di sepanjang meja kayu, berteriak dengan suara keras, tertawa, saling mengejek dan mendorong satu sama lain. Mereka jenis orang kasar, Erec bisa melihat hal itu dalam sekejap, dengan perut yang terlalu besar, pipi yang tidak tercukur, pakaian yang tidak dicuci. Tidak seorang pun dari mereka adalah prajurit.

Erec mengambil beberapa langkah masuk, mencari-cari dia. Ia tidak bisa membayangkan kemungkinan bahwa seorang wanita sepertinya bisa bekerja di tempat seperti ini. Ia bertanya-tanya apakah mungkin mereka datang ke gubuk yang salah.

"Permisi, tuan, saya mencari seorang wanita," Erec berkata kepada pria yang berdiri di sampingnya, tinggi dan lebar, dengan perut yang besar, tidak bercukur.

“Begitu ya?” seru pria itu, mengejek. "Wah, kau telah datang ke tempat yang salah! Ini bukan rumah bordil. Tapi ada satu rumah bordil di seberang jalan - dan aku dengar wanita di sana cantik-cantik dan montok!"

Pria itu mulai tertawa, terlalu keras, di depan wajah Erec, dan beberapa pengikutnya bergabung masuk.

"Bukan rumah bordil yang aku cari," jawab Erec, tidak senang, "tetapi seorang wanita, seseorang yang bekerja di sini."

"Yang kau maksudkan pasti pelayan pemilik penginapan," seru orang lain, pria besar mabuk yang lainnya. "Dia mungkin ada di suatu tempat di belakang, menggosok lantai. Sayang sekali – aku berharap dia ada di sini, dalam pelukanku!”

Semua pria itu tertawa keras, merasa girang dengan gurauan mereka sendiri, dan Erec merasa tersinggung mendengarnya. Ia merasa kasihan kepada gadis itu. Ia harus melayani semua orang menjijikkan ini – itu adalah sebuah hal yang memalukan bahkan untuk Erec sendiri.

"Dan siapa kau?" muncul suara lainnya.

Seorang pria maju ke muka, lebih besar dari yang lainnya, dengan jenggot dan mata hitam, pandangan muram dan rahang besar, ditemani beberapa pria kumal. Ia tampak lebih berotot, dan ia mendekati Erec dengan sikap mengancam, dengan jelas menunjukkan kekuasaannya.

"Apa kau mencoba untuk mencuri gadis pelayanku?" desaknya. "Enyah kau dari sini!”

Dia melangkah maju dan mengulurkan tangan untuk menyambar Erec.

Tetapi Erec, yang ditempa latihan selama bertahun-tahun, ksatria terhebat di kerajaan itu, mempunyai refleks melampaui yang bisa dibayangkan pria itu. Pada saat tangannya menyentuh Erec, Erec pun segera bertindak, ia menarik dan mengunci pergelangan tangannya, memutar tubuh pria itu dengan cepat, menarik pria itu dan melemparkannya ke seberang ruangan.

Pria besar itu melayang seperti peluru meriam, dan merubuhkan beberapa pria bersama dengannya, semuanya menabrak lantai di tempat kecil seperti pin bowling.

Seluruh ruangan menjadi hening, sebagaimana semua pria berhenti dan menonton.

"LAWAN! LAWAN!" teriak para pria.

Pemilik penginapan, sedikit pusing, terhuyung-huyung berdiri dan menyerang Erec dengan teriakan.

Kali ini Erec tidak menunggu. Ia melangkah maju untuk mendekati penyerangnya, mengangkat satu tangan, dan menyodokkan sikutnya tepat ke wajah pria itu, mematahkan hidungnya.

Pemilik penginapan terhuyung ke belakang, lalu jatuh, mendarat di lantai ke belakang.

Erec melangkah maju, mengangkatnya, dan mengabaikan ukuran tubuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ia mengambil beberapa langkah maju dan melemparkan pria itu, dan pria itu melayang melewati udara, memporak-porandakan setengah ruangan saat ia jatuh.

Semua pria dalam ruangan itu membeku, menghentikan teriakan mereka, hening, mulai menyadari bahwa seseorang yang istimewa ada di antara mereka. Pelayan bar, tiba-tiba bergegas maju, sebuah botol kaca diangkat tinggi di atas kepalanya, diarahkan tepat kepada Erec.

Erec melihatnya datang dan telah meletakkan tangan di pedangnya - tetapi sebelum Erec bisa mencabutnya, temannya Brandt melangkah maju, di sampingnya, mengacungkan sebilah belati dari sabuknya, dan mengarahkan ujungnya pada leher pelayan bar itu.

Pelayan bar yang berjalan tepat ke arah belati itu dan terpaku, belati itu sudah siap untuk menyayat kulitnya. Dia berdiri di sana, dengan mata terbelalak karena ketakutan, berkeringat, botolnya membeku di udara. Ruangan itu menjadi begitu sunyi akibat pertikaian itu sehingga seseorang akan bisa mendengar sebuah jarum yang jatuh.

"Jatuhkan," perintah Brandt.

Pelayan bar itu melakukannya, dan botol itu pecah di lantai.

Erec mengeluarkan pedangnya dengan suara gemerincing logam dan berjalan ke arah pemilik penginapan, yang terbaring mengerang di lantai, dan mengarahkan pedangnya ke lehernya.

"Aku hanya akan mengatakan ini satu kali," cetus Erec. "Bersihkan ruangan ini dari semua orang gembel ini. Sekarang. Aku meminta dipertemukan dengan wanita itu. Sendirian.

"Adipati!" teriak seseorang.

Seluruh ruangan berbalik dan akhirnya mengenali Adipati yang berdiri di sana, di pintu masuk, diapit oleh bawahannya. Semua orang segera melepaskan topi mereka dan menundukkan kepala mereka.

"Jika ruangan ini tidak bersih pada saat aku berhenti berbicara," cetuk Adipati, "semua dari kau akan dipenjarakan sekaligus."

Ruangan berubah menjadi hiruk-pikuk karena semua orang di dalamnya bergegas keluar, berlarian melewati sang Adipati dan keluar dari pintu depan, meninggalkan botol bir yang belum mereka habiskan.

"Dan kau juga keluar," kata Brandt kepada pelayan bar itu, menurunkan belatinya, menjambak rambutnya dan mendorongnya keluar dari pintu.

Ruangan itu, yang tadinya begitu gaduh beberapa waktu sebelumnya, sekarang menjadi kosong, sunyi, hanya tersisa Erec, Brandt, sang Adipati, dan selusin orang-orang terdekatnya. Mereka menutup pintu di belakang mereka dengan suara terbanting.

Erec berpaling kepada pemilik penginapan yang duduk di lantai, masih pusing, menyeka darah dari hidungnya. Erec menyambar bajunya, mengangkatnya dengan kedua tangan, dan mendudukkan dia pada salah satu bangku kosong.

"Kau menghancurkan bisnisku malam ini," rengek pemilik penginapan. "Kau akan membayarnya."

Adipati melangkah maju dan menamparnya.

"Aku bisa membuatmu terbunuh karena berupaya meletakkan tangan pada pria ini," hardik Adipati. "Apa kau tahu siapa ini? Ini adalah Erec, ksatria terbaik raja, jawara dari Kesatuan Perak. Jika ia memilihnya, ia bisa membunuhmu sendirian, sekarang juga."

Pemilik penginapan menatap Erec, dan untuk pertama kalinya, rasa takut yang sesungguhnya terlintas di wajahnya. Dia hampir-hampir gemetar di tempat duduknya.

"Saya tidak tahu. Anda tidak mengumumkan diri Anda."

"Di mana dia?" desak Erec tidak sabar.

"Dia ada di belakang, menggosok dapur. Apa yang Anda inginkan darinya? Apakah dia mencuri sesuatu dari Anda? Dia hanyalah gadis pelayan lain yang terikat kontrak."

Erec menarik belatinya dan mengacungkannya ke tenggorokan pria itu.

"Sebut dia 'pelayan' lagi," Erec memperingatkan, "dan kau bisa memastikan aku akan memotong lehermu. Apa kau mengerti?" tanyanya dengan tegas saat ia mengacungkan belati ke kulit pria itu.

Mata pria itu dibanjiri dengan air mata, saat ia perlahan-lahan mengangguk.

"Bawa dia ke sini, dan cepatlah," perintah Erec, dan menariknya berdiri dan mendorongnya, membuatnya melayang melintasi ruangan, dan menuju pintu belakang.

Ketika pemilik penginapan tidak berada di situ, muncul suara dentang periuk dari belakang pintu, teriakan teredam, dan kemudian, beberapa saat kemudian, pintu terbuka, lalu keluarlah beberapa perempuan, berpakaian compang-camping, dengan celemek dan penutup kepala, tertutup dengan minyak dari dapur. Ada tiga wanita yang lebih tua, berusia sekitar enam puluhan, dan Erec bertanya-tanya selama beberapa saat apakah pemilik penginapan tahu siapa yang ia maksudkan.

Dan kemudian, dia muncul - dan jantung Erec berhenti di dalam dadanya.

Ia hampir tidak bisa bernapas. Itulah dia.

Dia mengenakan sebuah celemek, ditutupi dengan noda lemak, dan terus menundukkan kepala dengan rendah, merasa malu untuk mendongak. Rambutnya diikat, ditutupi dengan selembar kain, pipinya dihiasi dengan kotoran - namun tetap saja, Erec terpesona olehnya. Kulitnya sangat muda, begitu sempurna. Dia memiliki pahatan pipi dan tulang rahang yang tinggi, sebuah hidung kecil yang ditutupi dengan bintik-bintik, dan bibir yang penuh. Dia memiliki dahi anggun yang lebar, dan rambut pirangnya yang indah tergerai keluar dari bawah penutup kepala.

Dia melirik ke arahnya, hanya untuk sesaat, dan, mata hijau-almond besarnya yang indah, yang beralih dalam cahaya, berubah menjadi biru kristal kemudian kembali lagi, membuatnya terdiam di tempat. Ia terkejut karena menyadari bahwa ia bahkan lebih terpesona olehnya saat ini ketimbang saat ia pertama kali berjumpa dengannya.

Di belakangnya, keluarlah pemilik penginapan, bermuka masam, yang masih menyeka darah dari hidungnya. Gadis itu berjalan ke depan dengan malu-malu, dikelilingi oleh wanita-wanita yang lebih tua, ke arah Erec, dan membungkuk saat dia semakin dekat. Erec bangkit, berdiri di depannya, juga beberapa rombongan Adipati.

"Tuanku," ujarnya, suaranya lembut dan merdu, mengisi hati Erec. "Tolong katakan pada saya apakah yang telah saya lakukan sehingga mengusik Anda. Saya tidak tahu apakah itu, tetapi saya meminta maaf atas apapun yang telah saya lakukan saat hadir di istana Adipati."

Erec tersenyum. Kata-katanya, bahasanya, bunyi suaranya - itu semua membuatnya merasa dipulihkan. Ia tidak akan pernah menginginkan dia untuk berhenti berbicara.

Erec mengulurkan tangan dan menyentuh dagunya dengan tangannya, mengangkatnya sampai mata lembutnya bertemu dengan mata Erec. Jantungnya berdegup kencang ketika ia menatap matanya. Rasanya seperti tersesat dalam lautan biru.

"Tuan Putri, kau tidak melakukan apa-apa yang menyinggung perasaan. Aku tidak merasa kau akan pernah bisa menyinggung perasaan. Aku datang ke sini bukan dengan kemarahan - tetapi karena cinta. Sejak aku melihatmu, aku tidak dapat memikirkan hal lain."

Gadis itu terlihat tersipu, dan segera menjatuhkan pandangan matanya ke lantai, berkedip beberapa kali. Dia memilin tangannya, nampak gelisah, bergejolak. Dia jelas-jelas tidak terbiasa dengan hal ini.

"Tolonglah tuan putri, beri tahu aku. Siapakah namamu?"

"Alistair," jawabnya, dengan rendah hati.

"Alistair," ulang Erec, bergelora. Itu adalah nama paling cantik yang pernah ia dengar.

"Tetapi saya tidak tahu mengapa Anda bersusah payah untuk mengetahuinya," tambahnya, dengan lembut, masih menatap lantai. "Anda adalah seorang Bangsawan. Dan saya hanyalah seorang pelayan."

“Dia adalah pelayanku, lebih tepatnya," kata pemilik penginapan, melangkah maju, merasa tidak senang. "Dia terikat kontrak dengan saya. Dia menandatangani sebuah kontrak, beberapa tahun yang lalu. Tujuh tahun yang dia janjikan. Sebagai imbalannya, saya memberinya makanan dan tempat tinggal. Dia ada di tahun ketiganya. Jadi kau lihat, ini semua buang-buang waktu. Dia adalah milik saya. Saya memilikinya. Anda tidak bisa membawa yang satu ini pergi. Dia adalah milik saya. Apa Anda mengerti?"

Erec merasakan kebencian terhadap pemilik penginapan melampaui yang pernah ia rasakan terhadap seorang pria. Sebagian dari pikirannya hendak mencabut pedangnya dan menikam jantungnya lalu membinasakannya. Bagaimanapun juga pria itu mungkin layak untuk diperlakukkan seperti itu, tetapi Erec tidak ingin melanggar hukum Raja. Selain itu, tindakannya mencerminkan sang raja.

"Hukum Raja adalah hukum Raja," kata Erec kepada pria itu dengan tegas. "Aku tidak berniat untuk melanggarnya. Dikatakan bahwa esok adalah dimulainya turnamen. Dan aku berhak, seperti pria manapun, untuk memilih pengantinku. Dan biarkan hal itu diketahui di sini dan bahwa saat ini aku memilih Alistair."

Keterkejutan menyebar ke ruangan itu, sebagaimana semua orang saling bertukar pandang, terkejut.

"Yang mana," tambah Erec, "jika dia menerimanya."

Erec menatap Alistair, jantungnya berdegup, ketika dia tetap menundukkan wajahnya ke lantai. Ia bisa melihat bahwa ia tersipu.

"Apakah kau setuju, tuan putri?" tanyanya.

Ruangan itu menjadi hening.

"Tuanku," ujarnya dengan lembut, "Anda tidak tahu apa-apa tentang siapa saya, dari mana saya berasal, mengapa saya berada di sini. Dan saya takut ini adalah hal-hal yang tidak bisa saya katakan kepada Anda."

Erec menatapnya dengan bingung.

"Mengapa kau tidak bisa menceritakannya kepadaku?"

"Saya tidak pernah mengatakan kepada siapa pun sejak kedatangan saya. Saya telah bersumpah."

"Tetapi mengapa?" tekannya, sangat penasaran.

Tetapi Alistair hanya tetap menundukkan wajahnya, terdiam.

"Memang benar," tambah salah seorang wanita pelayan. "Gadis ini tidak pernah mengatakan kepada kami siapa dia. Atau mengapa dia ada di sini. Dia menolak mengatakannya. Kami telah mencoba selama bertahun-tahun."

Erec sangat kebingungan olehnya - tetapi itu hanya menambahkannya menjadi misteri.

"Jika aku tidak boleh mengetahui siapa kau, maka aku tidak perlu mengetahuinya," ujar Erec. "Aku menghargai sumpahmu. Tetapi hal itu tidak akan merubah kasih sayangku kepadamu. Tuan putri, siapapun engkau, jika aku mungkin memenangkan turnamen ini, maka aku akan memilihmu sebagai hadiahku. Dirimu, dari wanita manapun di seluruh kerajaan ini. Aku bertanya kepadamu lagi, apakah kau menerimanya?"

Alistair tetap menatap lantai, dan ketika Erec memandangnya, ia melihat air mata bergulir di pipinya.

Tiba-tiba, ia berbalik dan lari keluar dari ruangan itu, berlari keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Erec berdiri di sana, bersama dengan yang lainnya, tertegun dalam keheningan. Ia sangat sulit mengetahui cara untuk menafsirkan jawabannya.

"Sudah Anda lihat, Anda membuang-buang waktu Anda, dan waktu saya," ujar pemilik penginapan. "Dia berkata tidak. Jadi pergilah."

Erec mengernyit.

"Dia tidak berkata tidak," sela Brandt. "Dia tidak menjawab."

"Dia berhak atas waktu untuk berpikir," ujar Erec membela diri. "Selain itu, itu adalah hal yang butuh banyak pertimbangan. Dia tidak mengenalku juga."

Erec berdiri di sana, memperdebatkan apa yang harus dilakukan.

"Aku akan tinggal di sini malam ini," Erec akhirnya mengumumkan. "Anda harus memberi saya sebuah kamar di sini, satu lorong dengan kamarnya. Di pagi hari, sebelum turnamen dimulai, aku akan bertanya kepada dia lagi. Jika dia menerima, dan jika aku menang, dia akan menjadi pengantinku. Jika demikian, aku akan membelinya untuk membebaskan kerja paksanya denganmu, dan dia akan meninggalkan tempat ini bersamaku."

Pemilik penginapan jelas sekali tidak menginginkan Erec berada di bawah atapnya, tetapi ia tidak berani berkata apa-apa; jadi dia berbalik dan berlari keluar dari ruangan itu, membanting pintu di belakangnya.

"Apa kau yakin ingin tinggal di sini?" tanya Adipati. "Kembalilah ke kastil bersama dengan kami."

Erec menggelengkan kepala dengan sungguh-sungguh.

"Aku tidak pernah merasa seyakin ini dalam hidupku."




BAB DELAPAN


Thor menarik kepalanya dari udara, menyelam, memasukkan kepalanya ke dalam putaran air Laut Api. Ia menyelam semakin dalam dan mulai merasakan panas di sekelilingnya.

Di bawah permukaan, Thor membuka matanya dengan cepat – dan ia berharap ia tak pernah melakukannya. Ia menangkap sebuah pergerakan semua jenis makhluk laut yang aneh dan buruk rupa, besar dan kecil, dengan raut muka tak wajar dan tak masuk akal. Air di sekitarnya penuh dengan makhluk itu. Ia berdoa mereka tak menyerangnya sebelum ia sampai dengan aman di perahu.

Thor menyembul ke permukaan megap-megap, dan segera mencari si bocah yang tenggelam. Ia menemukannya dengan cepat: anak itu sedang timbul tenggelam, dan pada beberapa detik berikut dipastikan ia tak akan muncul ke permukaan lagi.

Thor mengulurkan tangannya, meraihnya dari belakang tulang selangka bocah itu, lalu mulai berenang bersamanya sambil menjaga kepala mereka berdua tetap berada di atas air. Thor mendengar suara menggeram dan saat ia berbalik, ia sangat terkejut melihat Krohn: pasti ia melompat ke dalam air untuk mengejarnya. Macan tutul itu berenang di sampingnya, ia mencoba mendekat ke arah Thor sambil mendengking. Thor merasa sedih telah membahayakan nyawa Krohn seperti saat ini – namun sangat sedikit yang bisa ia lakukan untuk Krohn.

Thor berusaha tak melihat ke sekelilignnya, ke arah air yang menggelegak kemerahan, ke arah makhluk-makhluk aneh yang timbul tenggelam. Seekor makhluk buruk rupa, dengan empat tangan dan dua kepala, muncul dan mendesis ke arahnya, lalu menyelam kembali ke dalam air, membuat Thor tersentak.

Thor berbalik dan melihat perahu sekitar dua puluh yar jauhnya, lalu berusaha berenang ke arahnya dengan rasa takut di dadanya. Ia gunakan satu lengan dan satu kakinya untuk menarik bocah itu. Bocah itu berontak dan berteriak, berusaha melepaskan diri darinya. Thor khawatir anak itu akan menenggelamkan mereka berdua.

“Bertahanlah!” seru Thor keras-keras, berharap si bocah akan mendengarkannya.

Untungnya, bocah itu memang mendengarnya. Thor sejenak merasa lega – sampai ia mendengar suara kecipak dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Seekor makhluk menyembul, makhluk kecil dengan kepala kuning dan empat tentakel. Kepalanya persegi dan makhluk itu berenang ke arahnya, menggertak dan menggeram ke arahnya. Mahkluk itu tampak seperti seekor ular rattle yang hidup di laut, tapi kepalanya terlalu kotak. Thor balas menggertaknya saat binatang itu mendekat, dan ia bersiap untuk digigit olehnya – namun makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar dan meludahkan air laut ke arah Thor. Thor mengejapkan matanya, berusaha menyingkirkan air itu dari matanya.

Makhluk itu berenang mengelilingi mereka, dan Thor melipatgandakan kemampuannya untuk berenang lebih cepat, berusaha untuk menghindarinya.

Thor hampir berhasil dan ia semakin dekat dengan perahu ketika seekor makhluk lain menyembul tak jauh darinya. Makhluk itu panjang, gepeng dan berwarna jingga, dengan dua taring di mulutnya dan selusin kaki kecil. Makhluk itu punya ekor yang panjang dan memukul-mukulkannya ke segala arah. Makhluk itu tampak seperti lobster yang berdiri tegak lurus. Ia berenang di sekitar permukaan air seperti kutu dan mendesis ke arah Thor, berganti arah dan mengibaskan ekornya. Ekor binatang itu mencambuk lengan Thor dan ia menjerit kesakitan karena sengatannya.

Makhluk itu bergerak maju mundur, memukul-mukulkan ekornya terus menerus. Thor berharap ia dapat menghunus pedang dan menyerangnya – tapi hanya ada satu lengannya yang bebas dan ia membutuhkannya untuk berenang.

Krohn yang berenang di sisinya, berbalik dan menggeram ke arah makhluk itu dengan suara keras. Ia berenang tak gentar ke arah binatang buruk rupa, menakut-nakutinya hingga menghilang ke dalam air. Thor menarik nafas lega – sampai makhluk itu kembali muncul di sisinya yang lain, dan mencambuknya kembali. Krohn berputar dan mengejarnya, berusaha menangkapnya, ia berusaha menerkam binatang itu, tapi berulang kali gagal.

Thor berenang demi nyawanya sendiri, menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah keluar dari laut ini. Setelah merasa berenang cukup lama, lebih keras dari yang pernah ia lakukan, akhirnya ia berhasil mendekati perahu yang bergoncang diterpa gelombang. Saat itu, dua bocah anggota Legiun yang lebih tua dan tak pernah berbicara pada Thor maupun kawan-kawannya, sedang menanti untuk menolongnya. Thor merasa berterima kasih karena mereka membungkuk dan menggapaikan tangan mereka.

Thor membantu bocah yang telah ditolongnya tadi untuk naik ke atas perahu. Dua anggota Legiun itu menarik lengannya dan menyeretnya.

Kemudian Thor menarik Krohn pada perutnya dan mengangkatnya dari air dan melemparkannya ke dalam perahu. Krohn mengeong dan dengan keempat cakarnya ia mendarat di perahu kayu, menggoyangkan badan untuk mengeringkannya. Ia meluncur menyeberangi lantai yang basah, ke sisi lain perahu. Lalu ia melompat mundur, berputar dan berlari ke pinggir, mencari Thor. Ia berdiri di sana, menuduk ke arah air dan memekik.

Thor menggapai dan meraih tangan salah seorang rekannya, dan baru saja menarik dirinya sendiri ke perahu kerika tiba-tiba ia merasa sesuatu yang kuat dan berotot melilitkan diri di pergelangan kaki dan pahanya. Ia memutar tubuhnya dan melihat ke bawah, hatinya membeku ketika ia melihat sesosok makhluk mirip seperti gurita berwarna hijau melilitkan tentakel di sekitar kakinya.

Thor menjerit kesakitan saat ia merasakan sengat makhluk itu menusuk dagingnya.

Thor menyadari jika ia tak melakukan sesuatu dengan cepat, ia akan mati. Dengan satu lengannya yang bebas, ia mengulurkan tangan ke sabuknya, mengemuarkan sebuah belati pendek, mencabutnya dan segera menusukkannya pada makhluk itu. Namun tentakel itu terlalu tebal, dan belati itu bahkan tak bisa menusuknya.

Makhluk itu marah. Kepalanya mendadak muncul ke permukaan, warnanya hijau, tanpa mata dan ada dua taring di lehernya yang panjang, satu di atas yang lainnya. Makhluk itu menganga memperlihatkan dua giginya yang tajam dan mendekat ke arah Thor. Thor merasa darah berhenti mengalir di kakinya, dan tahu ia harus segera bertindak. Seorang pemuda yang lebih tua berusaha menariknya, namun tangan Thor terlepas, dan ia kembali tercebur ke dalam air.

Krohn terus memekik, bulu-bulu di punggungnya berdiri, bersiap-siap masuk ke air. Namun Krohn tahu akan sia-sia menyerang makhluk itu.

Salah satu bocah senior maju ke depan dan berteriak:

“MERUNDUK!”

Thor merendahkan kepalanya saat seorang bocah melemparkan tombak. Tombak itu mendesis di udara namun meleset, melesat sia-sia dan tenggelam ke dalam air. Makhluk itu terlalu kecil, dan terlalu cepat.

Mendadak, Krohn melompat dari atas perahu dan kembali masuk ke dalam air, mendarat dengan taring terbuka dan menusukkan giginya yang tajam ke leher makhluk itu. Krohn menjepit dan mengayunkan makhluk itu ke kiri dan kanan, tidak melepaskannya.

Namun itu adalah sebuah pertempuran yang tak seimbang : kulit makhluk itu terlalu tebal dan terlalu berotot. Makhluk itu menghempaskan Krohn dari satu sisi ke sisi lainnya dan meleparkannya ke dalam air. Sementara itu makhluk mirip gurita semakin keras mencengkeram kaki Thor; sangat kuat sampai Thor merasa kehilangan oksigen. Tentakel itu membuatnya merasa terbakar, dan Thor merasa kakinya seperti hendak dicerabut dari tubuhnya.

Akhirnya, dengan putus asa, Thor membiarkan tangan seorang bocah yang hendak meraihnya dan pada saat yang sama bergerak ke samping, mencoba peraih pedang pendek di ikat pinggangnya.

Akan tetapi ia tak dapat meraihnya tepat waktu; ia tergelincir dan terjatuh dengan wajah pertama kali menghempas ke air.

Thor merasakan dirinya ditarik semakin jauh dari perahu. Makhluk itu menariknya semakin jauh ke dalam lautan. Ia ditarik ke belakang semakin cepat, dan ia menggapai-nggapai tanpa daya. Thor melihat perahu menghilang dari matanya. Berikutnya ia mengetahui dirinya telah ditarik jauh dari permukaan air, menuju kedalaman Laut Api.




BAB SEMBILAN


Gwendolyn berlari di padang rumput terbuka. Ayahnya, Raja MacGil, ada di sampingnya. Ia masih kecil, dan ayahnya juga tampak lebih muda. Jenggotnya pendek, dan tak ada jejak kelabu yang akan dimilikinya di kemudian hari, dan kulitnya bebas dari kerutan, lebih kencang dan bersinar. Ia tampak bahagia, tanpa beban dan tertawa lepas ketika ia memegang tangan putrinya dan berlari bersamanya di padang rumput. Inilah ayahnya dalam ingatan Gwendolyn.

Ia mengangkat dan menggendongnya di bahunya, berputar bersamanya lagi dan lagi, tertawa semakin keras dan Gwendolyn tertawa geli. Ia merasa aman dalam pelukan ayahnya, dan ia ingin saat ini tak pernah berakhir.

Namun ketika ayahnya menurunkan tubuhnya, sesuatu yang aneh terjadi. Mendadak hari berubah dari siang hari yang cerah menjadi senja. Ketika kaki Gwen menyentuh tanah, keduanya tak lagi menyentuh bunga-bunga di padang rumput. Namun terjebak dalam lumpur, hingga ke betisnya. Ayahnya kini terbaring di atas lumpur, beberapa kaki darinya – ia berubah menjadi tua, lebih tua dan sangat tua – dan ia terjebak di dalamnya. Di kejauhan tergoleklah makhkotanya yang berkilauan di tengah lumpur.

“Gwendolyn,” nafas ayahnya megap-megap. “Putriku. Tolonglah aku.”

Ia mengangkat tangannya, berusaha menggapai Gwendolyn dengan putus asa.

Gwendolyn berusaha keras untuk menolong ayahnya. Ia mencoba mendekatinya, untuk meraih tangan ayahnya. Namun kaki Gwen tak dapat digerakkan. Ia memandang ke bawah dan melihat lumpur di sekitarnya mulai mengeras, mengering dan memecah. Ia meronta-ronta, berusaha untuk membebaskan diri.

Gwen mengejapkan mata dan menemukan dirinya berdiri di dinding jembatan kastil. Ia memandangi ke bawah, ke Istana Raja. Ada sesuatu yang salah saat itu. Ia tidak melihat kemegahan dan keramaian seperti biasanya, namun kuburan yang terhampar luas. Apa yang tadinya adalah pelataran Istana Raja yang megah dan berkilauan kini telah berubah menjadi pemakaman, sejauh mata memandang.

Ia mendengar suara langkah kaki yang diseret, dan jantungnya berhenti berdetak ketika ia berputar dan melihat seorang pembunuh, mengenakan jubah dan tudung hitam, mendekatinya. Ia berlari cepat ke arah Gwen sampai tudung kepalanya terlepas dan menyingkapkan wajahnya yang buruk rupa, satu matanya hilang, meninggalkan bekas rongga yang dalam. Ia mendengus, mengangkat satu tangan yang memegang belati dengan hulu merah berkilauan.

Ia bergerak terlalu cepat dan Gwen tak dapat mendahuluinya. Ia meringkuk, sadar bahwa ia akan terbunuh seketika belati itu dihujamkan dengan kekuatan penuh.

Belati itu berhenti mendadak, hanya beberapa inci dari wajahnya. Gwen membuka matanya dan ia melihat ayahnya, yang telah menjadi mayat, menangkap pergelangan tangan pembunuh itu di udara. Ia mencengkeram tangan si pembunuh sampai ia menjatuhkan pisaunya, lalu menyentakkan bahu si pembunuh dan melemparkannya dari jembatan. Gwen mendengar teriakannya ketika ia melayang jatuh ke bawah.

Ayahnya berbalik dan memandangi ke arahnya; ia memegang bahunya keras dengan tangannya yang telah membusuk dan pandangan dingin.

“Di sini berbahaya untukmu,” ia memperingatkan. “Berbahaya!” teriak ayahnya, tangannya mencengkeram bahu Gwen terlalu kuat, sampai ia menjerit kesakitan.

Gwen terbangun sambil menjerit. Ia terduduk di tempat tidur, melihat ke sekeliling kamarnya, waswas terhadap kehadiran seorang penyerang.

Namun tak ada sesuatu pun di situ – hanya keheningan yang dalam menjelang fajar.

Dengan berkeringat dan nafas tersengal-sengal ia melompat dari tempat tidur, mengenakan gaun tidur dan bergegas keluar dari kamarnya. Ia berlari menuju sebuah wadah terbuat dari batu dan memercikkan air ke wajahnya berulang kali. Ia bersandar ke dinding, merasakan dinginnya batu di telapak kakinya di pagi musim panas yang hangat dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Mimpi itu terlalu nyata. Ia merasa itu lebih dari sekedar mimpi – sebuah peringatan dari ayahnya, sebuah pesan. Ia merasa harus segera meninggalkan Istana Raja sekarang, dan tak pernah kembali.

Ia tahu ia tak dapat melakukan itu. Ia harus menenangkan diri untuk mendapatkan kembali kecermelangan otaknya. Namun tiap kali ia mengejapkan matanya, ia melihat wajah ayahnya, merasakan peringatan darinya. Ia harus melakukan sesuatu untuk melupakan mimpi itu.

Gwen memandang keluar dan melihat matahari pertama baru saja terbit. Ia memikirkan satu-satunya tempat dimana ia dapat mendapatkan kembali ketenangannya: Sungai Kerajaan. Ya, ia harus pergi ke sana.



*



Gwendolyn menceburkan dirinya ke dalam dinginnya air Sungai Kerajaan, menutup hidungnya dan menundukkan kepalanya ke dalam air. Ia duduk dalam sebuah kolam renang kecil alami yang terbuat dari batu, tersembunyi dari mata air yang lebih tinggi. Ia telah menemukan tempat ini dan sering mendatanginya sejak ia masih kanak-kanak. Ia mengangkat kepalanya dari air dan berendam di sana, merasakan dinginnya air menetes dari rambut melewati kulit kepalanya, merasakan air membersihkan dan membasuh tubuhnya yang tanpa busana.

Ia telah menemukan tempat tersembunyi ini pada suatu hari, tersembunyi di tengah pepohonan, tinggi di pegunungan, sebuah lembah di mana arus sungai melambat dan membentuk sebuah kolam dalam dan tenang. Di atasnya, sungai mengalir dan terus mengalir di bawahnya. Di sini, di lembah ini, air terjebak dalam cekungan untuk sesaat. Kolam itu dalam, bebatuannya halus dan tempat itu sangat tersembunyi. Ia dapat mandi tanpa pakaian dengan tenang. Gwen datang ke tempat ini hampir setiap pagi di musim panas, begitu pagi tiba untuk menjernihkan pikirannya. Khususnya di hari seperti saat ini ketika mimpi menghantuinya seperti mimpi-mimpi lainnya, ini adalah salah satu tempat baginya menenangkan diri.

Sangat sulit bagi Gwen untuk menerima bahwa itu hanyalah sebuah mimpi, atau yang lainnya. Bagaimana ia dapat mengetahui ketika sebuah mimpi adalah sebuah pesan, suatu pertanda? Untuk mengetahui apakah ini hanyalah permainan dari pikirannya sendiri ataukah ia sedang diberi kesempatan untuk bertindak?

Gwendolyn mengangkat kepalanya untuk bernafas, menghirup udara di pagi hari yang hangat, mendengar suara kicauan burung di pepohonan sekitarnya. Ia bersandar di bebatuan, tubuhnya masih terendam hingga ke lehernya, duduk di langkan alami dalam air, berpikir. Ia mengangkat tangannya dan memercikkan air ke wajahnya, lalu mengusap rambut stroberinya yang panjang. Ia menunduk menatap permukaan air yang jernih, memantulkan langit dimana matahari kedua baru saja mulai terbit. Pepohonan membayangi air dan wajahnya sendiri. Matanya yang berwarna biru sebesar buah almon memandangi pantulan wajahnya sendiri. Ia dapat melihat ayahnya di kedua mata itu. Ia mengangkat wajahnya dan memikirkan kembali tentang mimpinya.

Ia tahu sangat berbahaya untuknya tetap tinggal di Istana Raja setelah pembunuhan ayahnya, dengan semua mata-mata dan rencana jahat – khususnya dengan Gareth sebagai raja. Kakaknya itu sangat tak terduga. Licik. Paranoid. Dan sangat, sangat iri hati. Gareth melihat semua orang sebagai ancaman – khususnya dirinya. Apa saja dapat terjadi. Ia tahu ia tidak aman berada di sini. Tak seorang pun akan aman.

Tapi ia tidak takut. Ia harus mengetahui dengan pasti siapa pembunuh ayahnya, dan jika itu adalah Gareth, ia tak akan lari sampai kakaknya itu mendapat hukuman Gwen tahu bahwa roh ayahnya tak akan beristirahat sampai pembunuhnya tertangkap. Keadilan telah ditegakkan ayahnya sepanjang hidupnya, dan ia, lebih dari siapapun, berhak mendapatkannya bahkan setelah kematiannya.

Gwen mengingat kembali pertemuannya dan Godfrey dengan Steffen. Ia merasa yakin Steffen menyembunyikan sesuatu, dan ia ingin tahu apakah itu. Sebagian dari dirinya merasa Steffen akan mengatakannya setelah saatnya tiba. Tapi bagaimana jika ia tidak? Ia merasa harus segera mencari siapa pembunuh ayahnya – tapi tak tahu lagi harus mencari kemana.

Gwendolyn akhirnya bangkit dari tempat duduknya di dalam air, naik ke tepi dengan tubuh telanjang, menggigil di udara pagi, tersembunyi di balik sebuah pohon besar, dan menggapai handuknya yang diletakkan di sebatang ranting, sebagaimana biasa dilakukannya.

Tapi ketika ia menggapainya, ia terkejut karena handuknya tak ada di sana. Ia berdiri di sana, telanjang, basah dan tak mengerti. Ia yakin ia telah menggantungkannya di sana seperti biasa.

Saat ia berdiri di sana, kebingungan, menggigil kedinginan, mencoba mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba, ia merasakan ada sebuah gerakan di belakangnya. Semuanya terjadi sangat cepat – samar-samar – dan sejenak kemudian jantungnya berhenti berdetak ketika ia menyadari ada seseorang sedang berdiri di belakangnya.

Kejadian itu berlangsung terlalu cepat. Dalam beberapa detik pria yang mengenakan jubah dan tudung hitam, persis seperti dalam mimpinya, telah berada di belakangnya. Ia menariknya dari belakang, dengan sebuah tangan kurus ia membekap mulut Gwen, meredam teriakannya dan memegangnya erat-erat. Ia menjulurkan tangannya yang lain dan memelintir pergelangan tangannya, mendorongnya hingga jatuh ke tanah.

Gwen meronta-ronta, berusaha untuk menjerit, sampai pria itu berhasil menundukkannya, dengan masih membekapnya erat. Gwen mencoba membebaskan diri dari cengkeraman pria itu, tapi ia terlalu kuat. Pria itu meraih sesuatu dan Gwen melihat ia memegang sebilah belati dengan hulu merah berkilauan – persis seperti dalam mimpinya. Ternyata benar mimpi itu sebuah peringatan untuknya.

Gwen merasa belati itu ditekankan ke tenggorokannya, dan pria itu mencengkeramnya keras untuk berjaga-jaga jika Gwen mencoba bergerak. Air mata menetes di pipinya ketika Gwen mencoba untuk bernafas. Ia merasa marah pada dirinya sendiri. Ia telah sangat bodoh. Ia seharusnya lebih waspada.





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=43695663) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



Если текст книги отсутствует, перейдите по ссылке

Возможные причины отсутствия книги:
1. Книга снята с продаж по просьбе правообладателя
2. Книга ещё не поступила в продажу и пока недоступна для чтения

Навигация